Dalam perjalanan pulang setelah dari Pantai Bira, kami menyempatkan singgah ke kawasan adat Amatoa yang terletak di Kecamatan Kajang, sekitar 56 Km dari kota Bulukumba.
Ciri masyarakat kajang yang ada di Desa Tana Toa adalah pakaian dengan warna serba hitam, sedangkan ciri bangunan rumahnya ialah seragam menghadap ke Utara. Masyarakatnya dipimpin oleh seorang yang bergelar Amma Toa dengan masa kepemimpinan seumur hidup. Mungkin sedikit banyak mirip dengan masyarakat Baduy, Jawa Barat.
Kami sedikit beruntung karena ternyata mantan mahasiswa dari kakak ipar dosen, masih mempunyai hubungan saudara dengan pemimpin adat Amatoa sehingga ada kesempatan untuk bertemu langsung dengan beliau. Konon, tidak sembarang orang bisa bertemu, apabila bisa pun ternyata hanya diterima di bangunan penerima tamu dan tidak dapat bertemu dengan sang Amatoa.
Dari daerah Bulukumba, perjalanan ke desa suku Kajang ini masih harus ditempuh selama kurang lebih 2 jam, menelusuri jalan yang berkelok-kelok. Setelah beberapa kali bertanya, sampailah kami ke rumah mantan mahasiswa kakak yang bapaknya adalah saudara sepupu dari Amatoa. Di sini kami memakai pakaian sarung hitam yang dipinjami oleh keluarga mereka sebagai syarat untuk berkunjung ke desa adat, dan kebetulan saya juga mempunyai kaos hitam jadi paslah hitam-hitam. Dengan memakai mobil kami menuju kawasan desa adat yang ternyata masih 15 menit perjalanan.
Setelah sampai di pintu masuk desa, perjalanan masih harus disambung dengan jalan kaki melewati jalanan berbatu, tetapi dengan kawasan hutan yang masih rimbun perjalanan sekitar 1 kilometer tidak terasa jauh. Selama perjalanan kami bertemu dengan penduduk setempat yang semuanya mayoritas memakai baju hitam dan sebagai tamu kami bersalam-salaman dengan mereka. Kelestarian kawasan hutan merupakan ciri dari kawasan adat ini, serta budaya hidup masyarakatnya yang jauh dari pola hidup modern, sehingga listrikpun tidak ada.
Akhirnya sampailah kami di rumah kepala adat sang Amatoa dan ternyata beliau juga sedang menerima beberapa tamu desa yang semuanya berpakaian hitam-hitam. Setelah bersalam-salaman dengan memakai bahasa daerah setempat sang mahasiswa pengantar (lupa namanya nih) menjadi penterjemah kami, dan memperkenalkan asal kami dan maksud kedatangan. Bahasa yang digunakan oleh penduduk suku Kajang adalah bahasa Bugis dialek Konjo.
Sang Amatoa sendiri masih tampak gagah dan kuat di usianya yang sudah 70 tahun tapi terlihat seperti 50 tahun dan orang tua disebelahnya yang awalnya kami sangka sang amatoa ternyata hanya tamu, terlihat seperti berumur 70 tahun tetapi ternyata berumur 100 tahun. Luar biasa, dengan pola hidup yang sederhana dan mendekatkan diri dengan alam bisa membuat orang menjadi awet muda. Tetapi ketika ditanya, mengenai resep awet muda, beliau tidak mau memberitahukannya, rahasia katanya. wah!
Pertanyaan lain adalah mengenai bagaimana pandangan kepala adat Amatoa tentang hidup selaras dengan alam. Alam itu diibaratkan seperti tubuh manusia, apabila tidak dijaga dan dirawat maka akan sakit. Alam yang rusak pasti akan mendatangkan kesengsaraan seperti timbulnya bencana alam.
Rumah adat Amatoa sendiri berupa rumah panggung dengan dapur serta tempat cuci berada di depan, satu ruangan dengan tempat menerima tamu dan ruang tidur di bagian belakang. Berbeda dengan suku Baduy Dalam yang melarang pemakaian sabun, suku Kajang dalam masih bisa memakai sabun untuk mencuci.
Larangan lain adalah mengambil gambar sang Amatoa beserta istrinya. Karena apabila dilanggar akan ditanggung oleh yang mengambil gambar beliau, mungkin sakit atau hal gaib lainnya. Tetapi untuk anak-anaknya masih dapat diambil gambarnya, jadilah kami hanya berfoto dengan anak-anaknya, yang ternyata juga tidak berbeda dengan remaja lainnya, sedang kuliah di Makassar.
Kabar terakhir dari suku Kajang, mereka semakin sulit mempertahankan kelestarian hutan-hutan di kawasan adat, karena desakan dari pemerintah yang akan memakai hutan mereka untuk kepentingan swasta. Sungguh sayang apabila hutan yang telah dipelihara secara turun temurun semakin berkurang akibat keserakahan masyarakat yang tidak bertanggung jawab.
Info mengenai suku Kajang dapat dilihat pada link berikut :
http://melayuonline.com/ensiclopedy/?a=aXF1L2EveVRteDdaM2dl=&l=suku-kajang
wah menarik sekali nih.
ReplyDeletesemua pakai sarung hitam
apa e,mang disyaratkan ?
iya, pak. Itu salah satu syarat untuk memasuki desa adat Amatoa, hrs memakai sesuatu yg ada hitamnya.
ReplyDeleteTulisannya cukup menarik, apalagi ditulis dengan gaya gaul. Mohon izin saya muat ulang di blog http://kabupatenbulukumba.blogspot.com/, trims. (Asnawin)
ReplyDeleteBoleh, kak, silahkan. terima kasih.
ReplyDeleteMbak, apakah orang asing/turis diperkenankan masuk ke tanah toa /Kajang ini. Saya berencana mengunjungi daerah ini, apakah saya memerlukan guide ?
ReplyDeleteApa kareba ngase intu naik ri kamponga???
ReplyDeleteApa kareba ngase intu naik ri kamponga
ReplyDeleteKabar baik, daeng.
ReplyDelete