Tuesday 30 January 2018

Mengenal Jakarta Lebih Dekat : Kampung Tugu, Kampung Portugis di Jakarta



Sebenarnya sudah sejak lama Ira Lathief, pendiri Jakarta Food Traveler, organizer yang mengelola tour seputar Jakarta, mengajak saya untuk ikut di salah satu tournya.  Apalagi teman-teman di beberapa grup WA juga sudah share rute-rute walking tour dari Jakarta Food Traveler. Ada berbagai macam rute yang bisa dipilih sesuai keinginan kita dengan berbagai macam obyek wisata yang (sebenarnya) dengan mudah bisa kita  datangi sendiri.  Hal ini yang membuat saya ragu untuk ikut. Menurut Ira,  awal mula tercetus ide walking tour seputar Jakarta, adalah saat Gubernur DKI masih dijabat oleh pak Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Ada rute tour naik bus tingkat wisata yang bisa membawa kita ke Kalijodo setelah berkunjung ke Balaikota. Dimulai dari rute tersebut,  Ira mulai membuat rute-rute lain, seperti ke Glodok, Cilincing, Pasar Baru, Kota Tua, Mangga Besar dan lain-lain. Rutenya lumayan banyak dan beragam. 

Bagi saya pribadi, rute-rute yang dibuat Ira beberapa ada yang sudah pernah saya datangi dan sudah tidak spesial lagi bagi saya.  Jadi saya memilih rute yang benar-benar lain dari pada yang lain dan tidak akan bisa saya kunjungi jika tidak ikut walking tour Jakarta Food Traveler.  
Setelah berkali-kali janji dan selalu berakhir dengan php akhirnya saya berhasil ikut tour ke Kampung Portugis di Tugu, Jakarta Utara, pada hari Minggu tanggal 21 Januari 2018. Sebelum saya membaca dengan seksama awalnya saya beranggapan Tugu ini lokasinya di Depok. Hehehe.. ternyata Tugu ini adalah sebuah kampung yang letaknya di daerah Semper, Jakarta Utara. Lokasi yang benar-benar asing dan seumur hidup belum pernah saya menginjakkan kaki disana.

Saya menuju ke sana dengan menggunakan bus Transjakarta dari halte LIPI dekat rumah, transit di UKI Cawang dan meneruskan perjalanan dengan Transjakarta tujuan Tanjung Priok dan turun di halte Plumpang. Dengan gojek saya meneruskan perjalanan ke meeting point di Gereja Tugu.  Saya termasuk peserta yang datang terlambat karena paginya saya ada olahraga lari dulu di CFD, terpaksa karena mau ikut race jadi pagi harinya saya ada jadwal lari. Saya terlambat hampir 30 menit dan dengan muka bersalah saya menuju ke bagian pendaftaran untuk menyerahkan uang sebesar Rp. 100.000,- ( Rp. 60.000,- untuk biaya tour dan Rp. 40.000,- untuk makanan yang dipesan)

Dengan muka sumringah Ira menyambut saya dan dua lagi peserta yang terlambat dan tourpun segera dimulai (karena sudah telat 30 menit dari jadwal jam 9) dengan kata sambutan dari mbak Ira dan teman yang akan memandu perjalanan kita kali ini.

Ikut walking tour jika wisata ke luar negeri sudah bukan hal yang aneh, tetapi ikut walking tour di Jakartapun sebenarnya bukan pengalaman pertama bagi saya. Karena jaman dulu saya pernah ikut tour di kota tua oleh Sahabat Museum, ke Museum Gajah dan ke Istana Presiden. Tetapi itu sudah lamaaa sekali dan baru kali ini bisa ikutan lagi.

Sebenernya pagi menjelang siang cuaca mendung, tetapi semakin lama matahari semakin terik ditambah daerah Jakarta Utara memang kering jadilah siap-siap berdebu dan lepek. Harus siap dengan kacamata hitam atau payung untuk yang gak tahan panas dan niat yang cukup besar untuk ikut tour ini.

Kampung Tugu terletak di daerah Semper dimana di kampong ini hampir 90% penduduknya menganut agama Kristen Protestan dan sebagian dihuni oleh keturunan Portugis. Sebenarnya sudah tinggal sedikit yang benar-benar keturunan asli Portugis karena mereka sudah membaur dengan penduduk lokal dan sebagian ada pula yang pindah ke luar kota atau keluar negeri. Asal muasalnya adalah pada jaman Belanda ketika banyak tawanan orang Portugis yang dibuang ke Batavia sebagai tawanan perang yang akhirnya dibebaskan ketika mereka bersedia menganut agama Kristen. Nama kampung Tugu sendiri berasal dari kata PorTUGUies atau dari prasasti Tugu yang ditemukan tidak jauh dari sana. Di sini juga asal mula dari musik kroncong Tugu yang melegenda dan sudah dimainkan dimana-mana. Para pemusik kroncong Tugupun masih menetap disana dan menerima panggilan untuk bermain musik di acara-acara tertentu dan bahkan diundang sampai ke manca negara. Budaya kampong Tugu inipun masih berusaha dilestarikan oleh penduduknya dengan rutin menggelar acara budaya yang dinamakan Mandi-mandi untuk menyambut Tahun Baru. Dimana mereka akan mengoleskan bedak dingin ke muka dan acara Rabo-rabo yang berupa kunjungan keluarga dimana salah satu anggota harus ikut berkunjung sambung menyambung sampai tiba di rumah saudara yang terakhir yang tertua dan akhirnya ditutup dengan makan besar. Sewaktu acara Mandi-mandi tahun lalu, mantan PM Timor Leste bahkan hadir untuk ikut memeriahkan acara karean ikatan persaudaraan yang kuat sesama keturunan Portugis.




Karena masih ada kebaktian di Gereja Tugu terlebih dulu kami mampir ke Makam keturunan Portugis di belakang gereja. Dengan melihat nisan di makam ini kita jelas terlihat keturunan Portugis yang asli itu memakai nama keluarga Salomons, Abrahams, Quiko dan Michiels.
Dari makam, kami menuju ke arah belakang menuju perkampungan dengan melewati sebuah jembatan dengan besi berwarna merah melewati sungai dengan air yang keruh. Kami menuju rumah Oma Deni yang menceritakan mengenai keadaan di kampong Tugu dari saat beliau menetap disana, dimana kampong tersebut masih berupa hutan dan banyak binatang yang bisa diburu.







Setelah itu melewati jalan-jalan kecil di perkampungan kami menuju rumah Ketua Perkumpulan Kampung Tugu tetapi ternyata beliau sedang tidak ada di rumah. Sehingga perjalanan kembali diteruskan ke rumah Ibu Ena yang memasak makanan khas kampong Tugu yang akan kami nikmati di sini.




Oh iya, ternyata tur ke Kampung Tugu ini diliput oleh Kompas TV dan ada beberapa momen-momen yang kami lakukan khusus untuk diliput. Asyik, aye masuk tipi nih mak.. hahahaha…
Di rumah ibu Ena ini terdapat bale-bale dimana diletakkan alat-alat musik yang dipakai untuk bermain keroncong dan disanalah kami makan kue-kue khas kampung Tugu. Yang paling spesial adalah kue yang bernama Pisang Udang. Walaupun ada kata pisang kue ini tidak mengandung pisang sama sekali, pisang hanya nama untuk daun pembungkusnya saja. Kue ini semacam kue nagasari tetapi dengan isian papaya muda, udang, bawang goreng, sedikit parutan kelapa dan gula merah. Jadi rasanya unik, ada asin dan manis bercampur jadi satu.  Selain itu ada ketan dengan parutan kelapa dan gula merah serta kue apem yang dimakan dengan kinca gula merah yang harum pandan. Dan yang paling spesial adalah Portugis Egg Tart dimana egg tart ini berbeda dengan egg tart yang ada di mall-mall karena kulitnya terbuat dari bahan mirip sagu. Pokoknya unik deh rasanya dan cukup enak.



Makanan lainnya yang dicicipi adalah Pindang Serani. Kata serani berasal dari Nasrani yang merupakan agama yang dianut oleh warga Kampung Tugu. Berbeda dengan pindang umumnya, meski sama-sama menggunakan ikan bandeng, warna kuahnya cenderung hitam. Ini karena bumbu-bumbu seperti asam, serai, jahe, kunyit, cabe, bawang merah dibakar terlebih dahulu (bukan ditumis) sehingga menghasilkan aroma dan rasa yang khas. Selain itu ada Gado-gado siram yang sama dengan gado-gado siram pada umumnya.





Perut kenyang dan kami siap menuju tujuan berikutnya yaitu rumah salah satu anggota orkestra Keroncong Tugu, Arthur James Michiels. Nah, disini saya diminta presenter Kompas TV untuk masuk ke rumah dan membuat liputan mengenai keadaan rumah pak Arthur yang sudah berusia 250 tahun. Kondisi rumah saat itu sedang banjir karena air rembesan dari lantai. Beberapa foto-foto tua dipajang di dinding dan ada yang berlatar belakang gereja Tugu.  Saya diwawancara oleh Kompas TV dan ditanya pendapatnya kenapa tertarik ikutan tur ini. Beberapa kali take ulang karena saya kepanjangan kasih jawaban dan grogi juga ya bok.



Saya tidak sempat mengikuti penjelasan pak Arthur mengenai keroncong tugu sehingga saya kutipkan dari blognya salah seorang peserta tour yang bernama Deny. Silahkan berkunjung  kesini ya…   

Kedatangan bangsa Portugis ke Kampung Tugu menyisakan peninggalan sejarah dan budaya turun temurun. Salah satunya adalah musik keroncong. Dahulu, keroncong dinyanyikan sebagai hiburan untuk melepas lelah setelah pulang bekerja. Dengan alat musik seperti ukulele, masyarakat tugu memainkan keroncong dengan lagu-lagu berbahasa Portugis. Kata keroncong sendiri berasal dari bunyi “crong, crong” dari ukulele yang kemudian dilafalkan menjadi keroncong.

Pak Arthur juga memainkan alat musiknya yang saya dengar lamat-lamat dari dalam rumah. Setelah syuting selesai saya segera bergabung dengan peserta lain dan foto bersama pak Arthur yang masih keliatan bulenya. Tinggi, besar dan ganteng. Hahaha…

Setelah foto-foto kami kembali meneruskan perjalanan melewati jalan utama yang panas dan berdebu menuju Gereja Tugu. Sebelum menuju ke rumah bu Ena kami sempat mampir di tulisan di depan gereja yang menunjukkan bahwa Gereja Tugu ini adalah bangunan cagar budaya. Berbeda dengan gereja protestan yang dibangun oleh Belanda dengan arsitektur kubah, gereja ini dibangun dengan gaya Portugis dengan atap berbentuk kerucut. Gereja Tugu menjadi rumah ibadah kaum mardijkers yang diresmikan pada tahun 1748 dan masih digunakan sampai saat ini. Di samping bangunan gereja juga ada sebuah lonceng. Namun lonceng yang asli kini disimpan di rumah bergaya betawi di depan gereja yang menjadi tempat tinggal pendeta.









Setelah kami berfoto bersama di Gereja Tugu usailah walking tour bersama Jakarta Food Traveler hari ini. Senang akhirnya bisa ikutan gabung, senang mendapat pengetahuan baru, tempat-tempat baru dan bonusnya bisa masuk TV. Hehehe..

Jika teman-teman ingin mengetahui jadwal tour dari Jakarta Food Traveler bisa melihat di akun social media : IG @jakartafoodtraveler FB Jakarta Food Traveler dan website di http://www.wisatakreatifjakarta.com/
Bagi kita yang tinggal di Jakarta, tempat-tempat tersebut bisa didatangi sendiri tanpa ikut tour, tetapi jangan salah, menurut cerita Ira,  peminat tour ini banyak juga dari warga Jakarta dan dari luar kota Jakarta. Bahkan tour warisan Ahok yang menurut saya biasa aja itupun banyak peminatnya.  Jadi, jika kalian ingin jalan-jalan mengenal Jakarta lebih dekat, silahkan pilih rute yang ditawarkan Jakarta Food Traveler ini dan nikmati keseruannya. Siapa tau bisa masuk TV J
Mulai bulan February, ada tour di Bogor dan Bandung juga. Asyik kan.Semakin banyak pilihan.

Note : foto-foto sebagian diambil dari peserta tour dan ada video acara tersebut dari Kompas TV





Sunday 28 January 2018

Beautiful Labuan Bajo : Hari Ke 5 : Morning Run, La Bajo Flores Coffee dan My Warung, Bali




Hari terakhir tiba. Saya dan dua orang teman yang hobby lari, Reni dan mas Toton,  memulai hari dengan lati pagi, -maklum deh namanya juga pelari, kaki rasanya gatel kalo nggak mencoba lari di kota yang didatangi.  Rutenya dari hotel menyusuri Jl Sukarno Hata menuju pelabuhan ferry dan mampir masuk ke pelabuhan kapal utama untuk foto-foto. Setelah itu kami kembali ke hotel dan melanjutkan dengan berenang di kolam renangnya yang mempunyai view menghadap pantai. Udara kota Labuan Bajo yang panas sungguh asyik untuk berenang, walaupun tidak bisa terlalu lama. Apalagi sewaktu saya berlari tadi jalan Sukarno Hatta yang merupakan jalan utama di kota Labuan Bajo sungguh berdebu karena banyak truk yang lewat, rasanya seger banget bisa berendam.





Sebelum berenang saya sarapan dulu di resto hotel yang menghadap ke kolam renang, setelah kenyang baru deh berenang.

Selesai berenang, kegiatan kami selanjutnya adalah ngopi bareng di La Bajo Flores Coffee, kedai kopi yang hits di Labuan Bajo. Lokasinya di jalan utama yaitu Jl Sukarno Hatta, tadi sewaktu kami lari pagi lewat tempat ini dan sekarang balik lagi kesana.






Ruangan kafe yang cozy menyambut kami. Dekorasi cafe cukup eye catching dan instagramable dengan gambar pulau flores dan beberapa quotes tentang coffee. Dijamin betah nongkrong di sini. Kopinya juga enak dan cukup strong. Mereka juga menyediakan bubuk kopi yang sudah digiling dengan harga yang cukup terjangkau.

Setelah puas ngopi kami kembali ke hotel, saya dan Emma duluan dengan naik ojek sedangkan yang lain memilih jalan kaki. Sampai hotel leyeh-leyeh sebentar, beres-beres dan cabut ke bandara memakai jemputan dari hotel.

Karena pesawat masih lama dan sempat delay sekitar 1 jam, kami semua mengisi waktu dengan makan siang. Saya memilih makan pop mie yang dijual di resto kecil di bandara, ada yang makan roti di La Bajo Flores coffee cabang Bandara dan ada yang ke bawah makan nasi di kantin. Dan setelah semuanya hampir bosan menunggu, pesawat kami datang juga.

NAM Air dengan tujuan Denpasar mendarat dengan mulus. Kami semua berpencar dan berpamitan karena mempunyai acara masing-masing. Saya sengaja memilih pesawat dengan penerbangan agak malam karena ingin mampir ke cafe teman saya, My Warung. Teman-teman saya yang lain sih ada yang menginap semalam di Kuta, atau langsung pulang dengan penerbangan berikut.

Karena sudah berpengalaman, saya segera menitip bagasi di airport dan memesan Gojek menuju My Warung, Canggu. Walaupun termasuk jauh, untungnya saya cepat dapat gojek. Dan di tengah lalulintas yang sudah mulai padat karena jam pulang kantor, saya berhasil mencapai My Warung dan menikmati susana cafe yang nyaman. Karena My Warung ini ada beberapa cabangnya di Bali, sebenarnya saya ingin mampir ke cabang yang di Echo Beach, tetapi karena akses kesana agak sulit jika menggunakan ojek, saya memutuskan untuk ke My Warung di Berawa, Canggu ini.  Kalau yang di Echo Beach keren lokasinya, sebelahnya ada pemandangan sawah. Selain di kedua tempat ini My Warung ada di kawasan Batu Beligh dan Ubud. Pemilik resto ini adalah teman saya yang bernama Juan Pierre.
Menu yang saya pesan adalah Crispy Skin Boneless Chicken Thigh dengan minum Ice Lemon Tea. Porsinya pas dan cukup mengeyangkan, harga juga reasonable. Mau nambah lagi udah pas gitu perutnya. Jadi gak pesen lagi. Tapi, sebelum pulang saya dikasih kejutan complimentary berupa dessert Tiramisu dan Crumble cake yang juara banget rasanya. Kue-kue enak itu saya take away karena takut waktu tidak mencukupi. Overall puas banget makan di My Warung.








Oh iya, ada yang unik dari kafe ini dan sepertinya belum pernah saya temui di kafe manapun. Di dinding toiletnya penuh dengan ucapan dari pengunjung yang ditulis di post it dan ditempel disana. Setiap pengunjung boleh menulis dan menempelkan pesan juga disana karean post it dan spidolnya sudah disediakan. Seru ya..



Saya memesan gojek ke tempat oleh-oleh Krisna dan sehabis membeli oleh-oleh baru pesan gojek lagi ke Bandara. So far, lancar aja sih pesan gojek di Bali.

Perjalanan pulang berjalan lancar dan sekitar jam 22.30 pesawat mendarat dengan selamat di Cengkareng dan berakhirlah liburan yang sangat mengesankan. Satu item di bucket list saya sudah bisa dicoret.

Untuk yang ingin mampir ke My Warung di Bali, ini webnya ya

http://www.mywarung.com/


Thursday 25 January 2018

Beautiful Labuan Bajo : Hari Ke 4, P Padar, P Rinca and Back to Labuan Bajo



Semalam kapal membawa kami berlayar mendekati pulau Padar, dan ketika pagi menjelang, saat langit masih gelap, kami sudah bersiap naik ke kapal kecil yang membawa kami ke pantai Pulau Padar.










Kami kembali naik ke atas bukit melalui tanjakan yang cukup terjal di beberapa tempat dan akhirnya tiba di tempat pemberhentian pertama untuk foto-foto. Pemandangannya sangat menakjubkan. Kita bisa melihat tiga pantai dengan tiga warna pasir yang berbeda yaitu putih, hitam dan pink. Di perhentian pertama ini kami menemukan spot foto terbaik dan bergantian kami mengambil gambar. Sambil menunggu saya asyik menikmati pemandangan yang tiada duanya. Sangat bersyukur akhirnya bisa menginjakkan kaki ke tempat ini.

Setelah beres foto-foto di tempat ini, kami melanjutkan lagi perjalanan hingga sampai di lokasi perhentian ke dua. Karena lebih ke atas pemandangan 3 pantai semakin jelas.  Kami berhenti lagi untuk foto-foto dan melanjutkan lagi naik sampai perhentian ke 3 dimana pemandangan lebih jelas dan lebih memukau. Karena sudut pengambilan gambar menjadi lebih luas. Laut dan langit biru berpadu serasi dengan  bukit-bukit berwarna keemasan membuat betah berlama-lama disana. Kalau tidak diingatkan oleh tour guide kami rasanya sih malas pulang. Apalagi harus melalui turunan yang cukup terjal dan licin. Cuaca juga mulai panas.

Pulau Padar adalah pulau ketiga terbesar di kawasan Taman Nasional Komodo, setelah Pulau Komodo dan Pulau Rinca.Pulau Padar menurut kabar yang beredar pada jaman dahulu, merupakan pulau yang dihuni oleh Komodo sebelum mereka punah karena kekurangan hewan untuk dimangsa dan komodo tersebut tidak mati begitu saja, melainkan mereka berenang pindah ke Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Letak Pulau Padar cenderung lebih dekat dengan Pulau Rinca dibandingkan dengan jarak ke Pulau Komodo dan dipisahkan oleh Selat Lintah. Pulau Padar juga diterima sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, karena berada dalam wilayah Taman Nasional Komodo, bersama dengan Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Gili Motang.

Sampai di kapal kami sarapan dan setelah itu menikmati saat-saat terakhir berada di kapal dengan duduk-duduk menikmati pemandangan laut. Sambil menikmati secangkir kopi dan makan cemilan .. duh, serasa surga dunia dan malas rasanya kalau mengingat trip ini hampir berakhir.

Menjelang tengah hari kami merapat ke dermaga Pulau Rinca. Yes, kami akan menengok sang Komodo itu. Setelah proses administrasi selesai, ada salah satu anggota trip kami yang suaminya orang asing sehingga harus membayar lebih, kami diberi arahan oleh ranger mengenai do and dont't selama berada di pulau ini. Karena bulan Juli sedang musim kawin untuk para komodo, mereka lebih banyak beredar dan bersembunyi sehingga komodo akan jarang ditemui berkeliaran. Tetapi sudah ada seekor komodo yang berada di dekat tempat tinggal para ranger yang berupa rumah panggung terbuat dari kayu. Selain tempat tinggal para ranger ada pula rumah panggung yang digunakan sebagai warung untuk menjual makanan dan minuman serta souvenir patung komodo. 


















Sebelum memulai trekking pak ranger memberi pengarahan terlebih dahulu. Beliau juga menjelaskan karena sedang musim kawin kami tidak akan menemukan komodo berkeliaran tetapi tetap akan bisa foto bersama komodo yang berada di dekat rumah para ranger tersebut. Kami bergantian berfoto dengan  kamera HP masing-masing di titik yang sudah ditentukan oleh Ranger dan beliau yang akan mengambilkan fotonya dengan angel tertentu sehingga komodo yang aslinya berukuran sedang bisa tampak besar jika dilihat di foto. Ah, keren lah pokoknya.  Cukup puas walaupun tidak bisa bertemu dengan komodo ketika sedang trekking. Apalagi kami hanya mengambil short trekking saja yang membutuhkan waktu 1-1,5 jam perjalanan, melalui padang savana dan naik ke atas bukit, membuat kesempatan untuk melihat komodo lebih kecil.  Panas luarbiasa, sehingga kami ingin cepat-cepat mengakhiri acara trekking hari itu. Oh iya, kami juga melihat sarang tempat komodo bertelur selama trekking ini. Terdapat 3 model sarang komodo yaitu tipe gundukan, sarang bukit, dan sarang tanah.
Kedalaman lubang adalah  2-3 meter. Di situlah komodo betina menaruh telur mereka,
Musim kawin komodo terjadi sekitar bulan Juli-Agustus, sebulan setelah itu komodo betina meletakkan telurnya. Seekor komodo betina  dapat menghasilkan telur sampai lebih dari 30 butir dalam satu musim.
Telur-telur tersebut, akan menetas sekitar 6 bulan setelah dikubur dalam sarangnya, yaitu sekitar bulan Februari atau Maret tahun berikutnya. 
Yang patut diperhatikan sebelum mulai trekking bagi wanita yang sedang haid harap melapor kepada ranger karena penciuman komodo yang tajam membuat mereka sangat sensitif akan bau. 

Karena kami ikut paket tur yang sudah diarrange oleh travel lokal di Labuan Bajo, mereka telah memilih untuk mengunjungi pulau Rinca untuk melihat komodo. Selain di pulau Rinca, kita bisa melihat komodo di Pulau Komodo. Komodo di Pulau Komodo lebih besar ukurannya dari pada di Pulau Rinca karena Pulau Rinca lebih kering menyebabkan makanan lebih sulit sehingga ukuran komodo lebih kecil. Perbedaan yang lain adalah komodo di pulau Rinca lebih ganas dan agresif. Hmm, kalau misalnya bisa memilih sih saya lebih suka melihat komodo yang ukurannya lebih besar. 

Usai berpanas-panas di Pulau Rinca kami disambut dengan hidangan makan siang terakhir di kapal yang rasanya lebih banyak macamnya dari sebelumnya. Mungkin menghabiskan stok makanan yang ada di kapal. Puas dan kenyang membuat saya dan teman saya Virna menghabiskan waktu di kapal dan menikmati saat-saat terakhir perjalanan sedangkan yang lain turun untuk snorkling dan menikmati pulau Kelor yang cantik. Pulau Kelor ini merupakan pulau yang lokasinya paling dekat dengan Labuan Bajo, sehingga sering dijadikan persinggahan terakhir sebelum kapal kembali ke Labuan Bajo. 





Kami berdua menghabiskan waktu dengan ngobrol dengan bapak salah satu ABK yang bertugas untuk menjemput mereka yang turun ke Pulau. Menurut beliau, banyak awak kapal wisata yang berasal dari Bima. Bahkan kapal yang kami tumpangi ini pun pemiliknya orang Bima. Beliau juga bercerita mengenai tragedi kapal terbalik yang tadi kita temui dalam perjalanan ke Pulau Kelor. Perairan di Taman Nasional Komodo, juga terkenal memiliki arus laut yang berbahaya dan tidak dapat diprediksi karena merupakan pertemuan arus Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik. Jika nahkoda kurang mahir kapal bisa tenggelam dihantam ombak. 

Sekitar pukul 3 sore kami semua sudah dalam perjalanan pulang kembali ke Labuan Bajo. Detik-detik trip yang menyenangkan akan berakhir. Walaupun masih ada satu malam lagi di Labuan Bajo dimana kami akan beristirahat dan leyeh-leyeh di hotel La Prima Labuan Bajo. 


Hotel ber bintang 4 ini  terletak di Pantai Pede di Labuan Bajo. Dikelilingi oleh perbukitan yang indah, hotel ini juga memiliki pantai pribadi yang cantik berpasir putih. Laprima Hotel Flores berjarak 10 menit berkendara dari Pelabuhan Labuan Bajo dan Terminal Bus Labuan. Sungguh tempat beristirahat yang sempurna bagi kita yang sudah 3 hari berada di lautan. 


Saat yang lain beristirahat, saya sudah dijemput oleh teman kuliah saya untuk berjalan-jalan keliling Labuan Bajo untuk melihat guest house milik teman yang baru dibangun di sana. Bangunannya unik dengan mural keren menghiasi dinding luar guest house dan letaknya juga cukup strategis karena hanya 3 menit dari Bandara dan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Cocok untuk turis ala backpacker yang banyak menghabiskan waktu di luar. 








Setelah itu kami melihat hotel yang satu lagi yang baru dibangun dan letaknya agak diluar kota Labuan Bajo. Hotel ini berada di atas bukit dengan pemandangan lautan lepas dan mempunyai open bar dimana wisatawan dapat duduk-duduk di bar sambil menikmati sunset dan sunrise. 





Setelah itu saya makan di RM Padang di Jl Sukarno Hatta, mencicipi Gelato di Scooperific La Creperie, mampir membeli oleh-oleh kopi Flores dan akhirnya kembali ke hotel untuk beristirahat.