Bangun pagi di saat subuh dan menunggu terbitnya matahari , wah…pemandangan indah terhampar sejauh mata memandang. Rimbunnya hutan pinus dengan pemandangan gunung di kejauhan, rumah-rumah penduduk dan lembah yang hijau, membuat kami semua melupakan kejenuhan bekerja selama ini. Sambil menikmati sarapan nasi goreng dengan teh manis hangat, lengkap lah sudah kenikmatan liburan kali ini.
Sebenarnya terdapat fasilitas Flying Fox dan mobil ATV tetapi kami tidak dapat menikmati, harus buru-buru check out karena hari ini daftar tempat yang harus dikunjungi lumayan padat.
Obyek wisata yang di Tawangmangu yang terkenal adalah Air Terjun Grojogan Sewu. Saya terakhir kesini sekitar 15 tahun yang lalu ketika masih SD. Dan ternyata relative tidak banyak yang berubah. Masih asri dengan rimbunan pepohonan dan tangga turun ke area air terjun yang panjang dan melelahkan. Sempat mencoba naik kuda karena terlanjur parkir di area yang salah, sehingga masih agak jauh ke pintu masuk dan harus naik kuda. Padahal sih kalau mobil mau parkir di depan pintu masuk juga bisa. Harga tiket masuk 6000 per orang.
Banyak sekali monyet-monyet berkeliaran dan walau jinak, kalau tidak hati-hati bisa saja dikejar kalau kita deket-dekat ingin berfoto bareng, contohnya ya saya ini…. Dua kali dikejar monyet yang merasa terganggu karena yang ngajak foto gayanya heboh banget. Hehe… Sebelumnya saya juga pernah hampir disosor soang ketika hendak berfoto bersama.
Air terjunnya lumayan tinggi dan deras airnya… dan setelah berfoto-foto, kami menikmati sate kelinci sambil duduk lesehan di tengah rimbunnya pepohonan. Sambil tetap awas, karena monyet2 nakal itu mengincar sandal untuk dibawa kabur.
Sate kelinci 10 tusuk ditebus dengan harga hanya 7000 rupiah saja, rasanya seperti daging ayam tapi lebih lembut seratnya. Sambil makan sate ini jangan memikirkan kelinci yang lucu dan menggemaskan itu ya, bisa nggak enak makan.
Griyo Kulo adalah tujuan makan siang hari ini, tempat makan bernuansa alam, minimalis, dengan sungai deras yang mengalir di bawah pondokan yang kami pilih dan pemandangan hijaunya pepohonan. Makanan di sini dimasak dengan kayu bakar dan tanpa penambahan MSG. Hanya ada dua pilihan paket, untuk 2-4 orang dan 4-6 orang.
Menunya sudah dintentukan, minuman pembuka, pilihan antara beras kencur dan kunyit asam. Berikutnya teh sereh, jahe dan teh poci. Appetizernya ubi ungu, talas, singkong goreng dan pisang goreng. Selanjutnya berturut2 dihidangkan dalam 1 nampan besar lauk-pauk, berupa, ayam goreng, tempe goreng, tahu goreng, ikan wader goreng, serta tempe penyet. Sayurannya adalah trancam dan urap. Serta daun poh-pohan. Semuanya dalam porsi yang berlimpah sehingga masih banyak sisa untuk dibawa pulang.
Sayang tidak disediakan bantal-bantal besar sehingga kami bisa tiduran dengan lebih nyaman sambil menunggu masakan siap yang lumayan lama. Di sini tidak tersedia listrik sehingga kalau malam makan dengan ditemani sinar lampu. Griyo Kulo ini juga menerima paket outbound, wisata alam dan agro wisata serta sekolah alam.
Berikutnya, tujuan wisata sejarah, mengunjungi komples candi Sukuh dan Cetho yang terletak di lereng gunung Lawu.
Candi Sukuh merupakan candi Hindu dan terletak di lereng gunung Lawu dan terkenal sebagai candi kesuburan karena ada lambang lingga dan yoni yang melambangkan alat kelamin pria dan wanita. Ditemukan pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta, yang melakukan penelitian atas penugasan Thomas Stanford Raffles, untuk melengkapi data-data buku yang ditulisnya, History of Java.
Terdapat tiga bagian bangunan pada komples candi ini, bagian pertama yaitu gapura utama atau disebut gapura buta abara wong dimana di sinilah terletak lambang lingga yoni tersebut. Bagian kedua berupa teras dengan gapura yang sudah tidak utuh lagi dengan beberapa patung-patung. Sedangkan pada teras ketiga terdapat pelataran besar dengan candi induk yang dihiasi relief-relief. Untuk menuju ke atas pelataran candi harus melalui tangga yang lumayan tinggi dan curam. Menurut info dr mr google, bentuk candi ini sekilas menyerupai bangunan suku Maya di Meksiko atau Suku Inca di Peru.Karena pada saat candi tersebut dibuat masa kejayaan Hindu sudah mulai berakhir dan budaya asli Indonesia jaman megalitik mulai tampak lagi.
Sewaktu kami ke sini, kompleks candi sepi sekali, tidak tampak ada pengunjung lain, maklum hari sudah menjelang sore dan untuk menuju ke sini tampaknya memang harus memakai kendaraan pribadi.Sebenarnya terdapat jasa pemandu, tetapi kami tidak memakainya. Karena demi kepraktisan dan kami tidak lama di sini.
Candi Cetho terletak lebih tinggi lagi dari Candi Sukuh, dan perjalana ke sana memakan waktu sekitar 30 menit dengan melalui jalan yang berkelok-kelok dengan pemandangan pegunungan yang indah. Pada Candi ini, terdapat 13 teras yang semuanya harus dilalui dengan menanjak alias naik tangga. Kebayang bakal capek luar biasa tetapi karena udara pegunungan yang sejuk dan kompleks candi yang indah serta penuh misteri, kami tetap semangat mengeksplorenya. Bentuk bangunan candi ini mempunyai kesamaan dengan Candi Sukuh yang dibangun berteras sehingga mengingatkan akan bentuk punden berundak pada jaman prasejarah. Menurut keterangan yang terdapat di dalam candi, pernah dilakukan pemugaran atas candi ini tanpa memperhatikan konsep arkeologi sehingga hasilnya tidak dapat dipertanggunjawabkan secara ilmiah.Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1842 oleh Van der Vils dan diteliti lebih lanjut oleh Dinas Purbakala pada tahun 1928. Di bagian timur candi terdapat Arca Dewi Saraswati yang merupakan sumbangan dari Kabupaten Gianyar di Bali, untuk upacara bagi penganut agama Hindu.O iya, sebenarnya ada candi lain yang bernama Candi Ketehk (kera dalam bahasa jawa) tetapi karena kami sudah lelah dan menurut pengunjung lain letaknya masih agak jauh kami tidak kesana.
Dibandingkan Candi Sukuh, masih terdapat beberapa pengunjung lain yang tampak di lokasi ini. Malah di pelataran candi terdapat beberpa orang sedang beristirahat setelah mengadakan upacara.
Setelah puas mengeksplore candi, tanpa diduga ada ide dari Ibu, untuk mampir ke Astana Giribangun, yap, makam mantan presiden RI yang paling lama berkuasa, Soeharto. Karena dilewati dalam perjalanan pulang ke Solo. Walau ada halangan dengan adanya jembatan penghubung yang rusak, ada jalan memutar yang bisa dilalui. Beruntung ibu mengetahui jalan-jalannya sehingga tidak perlu mengangkut penduduk sekitar yang menawarkan jasa sebagai penunjuk jalan.
Sampai Astana Giribangun hari sudah sore, sehingga kami tidak berlama-lama. Kompleks makam terletak di dalam bangunan yang luas. Untuk keturunan keluarga almarhum ibu Tien makam terletak di dalam bangunan, yaitu makan pak Harto, bu Tien serta orang tuanya, dan kakak dari Ibu Tien yang sudah lebih dulu meninggal (menikah dengan Andi Mapaodang dari Makassar). Di luar bangunan sudah di berikan tempat untuk anak-anak almarhum beserta pasangannya. Jadi seperti kata penjaganya, belum ketauan mbak, nanti pasangannya Mas Tommy atau Mas Bambang siapa… halah… bisa aja nih si bapak.
Sewaktu kami ke sana berbarengan dengan satu rombongan yang sedang mengadakan doa bersama di depan makam, sehingga tidak bisa berfoto-foto dengan leluasa.
Setelah puas foto2 kami pun melanjutkan perjalanan pulang. O iya, di halaman parkir ada bangunan khusus tempat penjualan souvenir khas Astana Giribangun, dan yang dijual pastilah segala sesuatu yang berbau Suharto. Seperti kaos bergambar pasangan Pak Harto dan Ibu Tien, serta poster-poster besar Pak Harto.
Sampai daerah Karanganyar hari sudah malam, untuk untuk menghemat, kami menginap di rumah ibu di sini. Karanganyar merupakan kota Kabupaten dengan jarak sekitar 30 menit dari pusat kota Solo. Tetapi jarak tidak menghalangi kami untuk ber wisata kuliner lagi, dan malam itu menu makan malam kami adalah Nasi Liwet Wongso Lemu yang kondang itu. Nasi Liwet bu Wongso yang kami kunjungi adalah yang ada sindennya di luar tempat makan. Kami memilih tempat duduk tepat di depan tempat mbak-mbaknya meracik nasi liwet, jadi aktivitas meracik nasi tampak jelas. Nasi Liwet adalah nasi gurih dengan lauk sayur labu, potongan telur pindang, suwiran ayam, ditambah areh dari santan kental. Malam minggu menjadikan tempat tersebut ramai dan mengundang pertanyaan teman saya, makannya pada lahap-lahap ya, mbak… hehe… Minumnya wedang dongo, air jahe dengan bulatan-bulatan ketan dengan isian kacang hijau yang legit.
Sebenernya masih banyak penjual nasi liwet lain yang tidak kalah enak dengan bu Wongso Lemu ini, tetapi memang beliau yang paling kondang, jadi banyak tamu luar kota yang di bawa ke sini so berdampaklah pada harga makanannya yang menjadi lebih mahal.
Pulangnya mampir beli susu murni Si Jack, rasa kopi dan coklat untuk dibungkus. Huhu…capek dan senang jadi satu… kaki pegal karena naik tangga ke candi Cetho tadi siang, tetapi masih ada satu hari lagi untuk menikmati kota solo dan untuk belanja pastinya.
Nasi Liwet Wongso Lemu – Jl Slamet Riyadi, Solo
Susu Murni Si Jack -
Griyo Kulo - Tawangmangu
ke griyo kulo juga toohh...asik ya disana, kyla sih betah maen aer di sungainya...
ReplyDeletegue juga betah berlama2 disitu, udaranya sejuk banget...
enak nih singkongnya dicocol pake sambal...
ReplyDeleteiya, asyik banget ... sayang nggak ada bantal2 besarnya ya, ran..biar bisa tidur.. :P
ReplyDeleteoooh... saya kmrn2 nyoba yg sebrangnya kalo ga salah, bukan yg ini. ga jelas mana yg asli nya yah.
ReplyDeleteiya sih, pilihan yang ini karena diajak temenku yang orang solo.
ReplyDelete