Thursday, 6 April 2017

One Day Trip : Via Ferrata Gunung Parang






Sewaktu membaca di facebook teman yang baru saja pulang dari panjat tebing di Via Ferrata Gunung Parang, saya menganggap bahwa Via Ferrata adalah nama EO yang men-arrange trip tersebut. Tetapi setelah saya akhirnya ikut trip ke gunung Parang  barulah saya mengerti bahwa Via Ferrata mempunyai arti  :  tangga besi yang "ditanam" di pinggir tebing. Dimana masing-masing tangga tersebut mempunyai jarak tertentu.
Di Gunung Parang, via ferrata yang digunakan "ditanam" sedalam 20 cm dengan jarak antar tangga 30 cm. Satu batang anak tangga besi itu mampu menopang 22 kg newton atau 500 kg dan berstandar internasional. 

Via Ferrata berasal dari bahasa Italia yaitu via (tangga) dan ferrata (besi). Jaman dulu, via ferrata digunakan oleh biarawan Italia untuk menuju kastil atau monastery yang terletak di atas bukit. Setelah itu digunakan pada masa Perang Dunia I, untuk suplai logistik dari perbatasan, dimana pasukan Italia harus bertempur melalui pegunungan Dolomites. Tahun 1990 – 200an Via Ferrata mulai menjadi objek wisata pertama kali di Pegunungan Alpen. 

Negara pertama di Asia yang menggunakan Via Ferrata adalah Malaysia yaitu di Gunung Kinabalu, yang kedua adalah Indonesia yaitu di Gunung Parang ini.  Via Ferrata di gunung Parang  baru mulai dibuatkan konsepnya tahun 2013 dan mulai dibuat dan dipopulerkan  tahun 2015.  

Dari bermacam-macam sumber yang saya kumpulkan ternyata ada beberapa operator yang menyelenggarakan trip pemanjatan di Gunung Parang ini :
Badega Gunung Parang, adalah operator tertua yang dikelola oleh masyarakat sekitar Gunung Parang. Saat ini Badega Gunung Parang pecah kongsi menjadi Badega Cirangkong dan Cihuni.
Skywalker Via Ferrata, ini adalah operator yang saya pakai. Paket yang ditawarkan sudah termasuk transportasi dan makan serta mendapat air mineral, dokumentasi dan asuransi.  Pemilik Skywalker adalah Muhammad Rubini Kertapati atau Bibin salah satu penggiat olahraga panjat tebing di Indonesia. 
Saya melakukan reservasi paket ini melalui mbak Mayawati Nur Halim yang bisa di hubungi di 0811821006

Operator yang terakhir yang paling baru adalah Parang Via Ferrata yang dikelola oleh Skygers. Menurut info yang saya dapat mereka akan membuat Via Ferrata hingga ketinggian 700 meter.
Gunung Parang mempunyai 3 puncak yang berbeda, mungkin masing-masing puncak dikelola oleh operator yang berbeda. Jadi silahkan googling untuk mendapat info lebih lanjut. 

  • Setelah membaca info-info yang ada di internet, sepertinya masing-masing oerator menawarkan kelebihan masing-masing. Untuk Badega Gunung Parang mereka mempunyai paket terbaru Tyrolean traverse yaitu tali yang direntangkan di antara puncak gunung dan dengan menggunakan hammock kita bisa duduk-duduk di ketinggian diantara dua puncak tersebut.
  • Untuk Skywalker Via Ferrata mereka menawarkan cara turun dengan menggunakan teknik rappelling atau menggunakan tali.  Kalau operator lain cara turunnya dengan tangga besi yang sama.
Perjalanan saya ke Gunung Parang diawali dengan hujan cukup deras pada suatu hari Sabtu tanggal 18 Maret 2017.  Beruntung tempat tinggal saya cukup dekat dari tempat meeting point pagi itu di depan Dunkin Donut Plaza Semanggi. Jadi saya tidak perlu bangun terlalu pagi dan dengan jalan kaki sekitar 15 menit sudah sampai di TKP. Ketika saya datang, sudah ada beberapa orang peserta trip yang ada disana, termasuk teman saya Deedee. Tetapi tidak bisa segera berangkat karena harus menunggu peserta yang lain. Kelemahan dari open trip seperti ini adalah pasti ada saja peserta lain yang datang terlambat. Sehingga keberangkatan menjadi molor. Total peserta trip hari itu adalah 15 orang, termasuk 1 anak perempuan yang baru berusia 8 tahun.  

Mobil yang dipakai untuk menuju lokasi Gunung Parang di Purwakarta adalah sebuah elf. Saya memilik duduk di belakang dekat jendela supaya bisa melihat pemandangan.  Di jalan saya sempat tertidur beberapa kali karena jalan yang macet menyebabkan perjalanan menjadi lebih lama dari perkiraan. Hal ini terjadi karena jalan tol Cipularang  yaitu jembatan Cisomang yang sedang diperbaiki, mengakibatkan  truk dialihkan melalui jalan raya Purwakarta dan menyebabkan macet luar biasa. Akhirnya setelah beberapa kali berhenti di tengah jalan untuk ke toilet dan membeli makanan kecil,  akhirnya kami sampai juga di lokasi.  Dari estimasi awal jam 10 pagi, kami baru sampai sekitar jam 12.30. 

Mobil diparkir di suatu lapangan kecil dan kami harus jalan kaki menuju base camp Skywalker yang lokasinya berada di pinggir sawah dengan pemandangan gunung Parang menjulang di depan mata. Melihat tebing batunya saja rasanya gimana gitu.  Udah mulai deg-degan, tapi karena kita harus makan dulu deg-degannya bisa ditunda.




Base campnya sendiri ditata dengan sangat baik dengan meja dan kursi untuk beristirahat, tempat sholat, dan kamar mandi dengan air bersih yang berlimpah.  Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya makan siang tersedia dan langsung diserbu oleh para peserta yang kelaparan. Menunya khas sunda yang raos pisan, nasi putih, lalapan, ayam goreng, teri serta tempe  dan tahu goreng serta sambal yang pedas. Menambah semangat kami semua untuk segera mulai memanjat. 


Tapi sebelum mulai, kami memakai peralatan memanjat lebih dahulu yang terdiri dari : Seat Harness yaitu tali yang dipasang melingkari pinggang dan paha sebagai penyangga berat badan, Carabiner yang digunakan untuk mengaitkan tubuh pada kawat baja, Lanyard Arm yaitu tali yang menghubungkan carabiner dengan Energy Absorber yang berfungsi meredam tegangan tali (Lanyard arm) jika kita terjatuh, Helm sebagai pelindung kepala kalau ada batu-batu yang jatuh dari atas.
Setelah berdoa dan foto bersama kami mulai perjalanan menuju titik start. Jalan yang dilalui mengingatkan saya akan jalan sewaktu trail run,  bawaannya jadi pengen lari aja biar cepet nyampe. Hehe

Akhirnya sampai juga kami di titik start dimana di sini kami sudah mulai melihat tangga-tangga besi yang berjajar ke atas. Saya sudah mulai stress karena deg-degan luar biasa. Dinding tebing benar-benar tegak lurus!! Dan untuk permulaan memanjat agak susah karena jarak tangga besinya masih berjauhan sehingga dipasang tali sebagai bantuan pijakan


Oh iya,  sewaktu berada di titik start ini nyamuknya banyak dan ganas, sehingga autan sangat diperlukan. Karena saya tidak membawa saya meminjam kepada salah satu peserta yang lantas dipanggil miss Autan. 

Setelah briefing yang dipimpin oleh kang Ajo,  dimana kang Ajo juga akan menjadi pemimpin pendakian,  satu persatu dari kami mulai memanjat. Mas Bondan akan menyusul di belakang. 








Saya mengambil giliran no 5 dan mulai segera memanjat. Memang agak susah di awal sewaktu kaki masih bertumpu pada tali dan sementara itu tangan harus mengkaitkan carabiner ke besi yang tertancap di tebing atau kawat baja yang berada di jalur pendakian. Karena tangan gemetar hebat saya jadi agak susah membuka cincin carabiner. Selain gemeteran, keringat dingin juga menjalari tangan saya. Penting sekali untuk selalu mengaitkan cincin ini ke tangga besi atau ke kawat baja disebelah jalur pendakian karena hanya itulah yang bisa menyelamatkan kita jika terjatuh. 

Perlahan tapi pasti saya melangkah menaiki tangga-tangga besi yang berjajar ke atas dan akhirnya sudah tinggi juga saya naik.  Selain tangan, kaki juga nggak kalah gemeternya. Apalagi sewaktu sedang  terkatung-katung di tangga besi karena menunggu giliran naik, rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Badan menempel di tebing dan nyawa bertumpu pada besi, carabiner dan lanyard, sementara panas menerpa dan angin bertiup disekeliling. 

Sebenarnya saya tidak terlalu takut dengan ketinggian tapi kalau mesti memanjat tebing seperti itu keluar juga deh  keluhan ketakutan yang berisik dan ternyata bikin stress temen saya Deedee yang susah payah menahan keluhan ketakutannya   Kalau saya sih udah nggak bisa ditahan jadinya ya gitu deh mucul jeritan-jeritan manja minta dijitak. Hahaha..lebay deh..

Di ketinggian 100 meter dari atas tanah, ada spot yang bagus untuk berfoto. Kang Ajo sudah siap dengan kameranya dan apabila peserta membawa HP bisa minta tolong difoto oleh kang Ajo dengan gaya lepas tangan. Jadi hanya bertumpu pada harness dan carabiner. Aduh saya masih nggak berani nii, jadi masih pose dengan pegangan tangga besi.
Di sini saya juga sudah mulai santai dan jreng jreng begitu melihat ke belakang, pemandangan  waduk jatiluhur dengan gunung-gunung yang membiru menyambut saya. Luar biasa. Langsung lupa kalau saya saat itu dalam posisi tergantung di tangga besi, menempel di dinding batu yang tegak nyaris 90 derajat.
Karena saya memanjat sambil memakai ransel saya akhirnya memberanikan diri mengambil HP dan selfi di ketinggian.  Dengan muka pucat saya berhasil selfi dengan selamat dan setelah puas foto-foto saya melanjutkan pendakian yang masih tersisa sebelum sampai ke sebuah celah yang bisa untuk istirahat. 



Tetapi sebelum sampai ke celah tersebut ternyata letak besi-besi yang menjadi tumpuan kaki menjadi semakin susah. Ada yang letaknya miring, ke samping dan ada yang curam sekali. Aduh, tambah stress dan deg-degan deh.  Untunglah akhirnya kami semua sampai juga di shelter tersebut.  Setelah beristirahat dan foto-foto, kloter pertama mulai pindah ke sebuah gua dengan melalui tangga besi yang menyamping, dan ini bikin deg-degan gila, karena berada di ketinggian 150 meter dan kalau melihat ke bawah yang ada hanya pepohonan lebat.  Saat itu waktu sudah menunjukkan jam 5 sore dan gerimis kecil mulai turun, udara dingin mulai terasa. Udara dingin menambah dingin tangan saya dan saya hanya bisa pasrah karena tahap selanjutnya, saya akan melakukan turun tebing dengan cara rappelling alias memakai tali. Jadi tidak seperti naik yang memakai tangga, untuk turun kami dihela dengan tali yang dipegang oleh kang Ajo dan saya hanya tinggal berpegangan pada tali dan kaki menjejak ke dinding tebing serta melangkah mundur.  Kang Ajo sebagai pemandu mengatakan bahwa tali aman dan kami harus percaya kepada kang Ajo yang menghela tali tersebut dari atas.
Sumpah mati, ini deg-degannya luar biasa. Tapi the show must go on, dan sambil mengucapkan Bismillah ratusan kali, saya berpegangan tali dan mulai turun.  Untuk turun secara rappelling ini ada 2 tahap. Karena panjang tali tidak mencukupi jadi nanti akan stop dulu di suatu perhentian, dan nanti akan sambung lagi dengan tali berikutnya yang di hela oleh mas Bondan. 


Turun secara rapelling berjalan lancar, saya berusaha agar badan tetap tegak dan kaki menjejak ke dinding mengikuti irama uluran tali. Sampai akhirnya uluran tali berhenti dan saya tergantung. Otomatis saya berteriak karena merasa akan jatuh. Ternyata shelter untuk perhentian pertama letaknya agak ke kiri sedikit yang membutuhkan bantuan dari peserta sebelumnya untuk membantu menarik badan saya. Begitu badan saya ditarik dan berhasil duduk saya merasa lega sekali. Jantung saya berdebar kencang dan saya merasa lemas luar biasa. Tangan saya gemetaran sampai kesulitan melepas carabiner tali yang akan ditarik lagi oleh Kang Ajo.
Setelah saya duduk untuk melepas ketegangan dan sedikit beristirahat, teman saya Ela mulai turun. Dan saya menunggu teman setelah saya supaya bisa menariknya ke shelter tersebut. Tetapi ketika Ado, teman saya datang, saya masih deg-degan dan takut sehingga yang menariknya adalah mas Bondan.
Akhirnya tiba giliran saya untuk turun karena Ela telah sampai di bawah dengan selamat. Kali ini saya turun dari ketinggian 70 meter tetapi rasa deg-degannya tetap sama. Saya sempat menjerit-jerit ketakutan karena kaki saya sempat tidak menjejak dinding sehingga saya merasa seperti mau jatuh. Karena sudah dekat, teman-teman yang dibawah memberi semangat sehingga saya bisa menjejakkan kaki kembali ke dinding dan akhirnya tiba di tanah dengan selamat.

Ya Allah, mau nangis rasaya karena lega akhirnya bisa menjejakkan kaki lagi di tanah. Saya segera duduk dan minum untuk menenangkan diri.  Teman-teman yang lain masih terus turun satu demi satu.  Bapak penjaga yang ada di base camp datang untuk membantu sehingga saya, Deedee dan Ela bisa kembali ke basecamp. Teman yang lain ada yang masih menunggu peserta yang masih turun.
Sampai di basecamp, sambil menunggu peserta lain, saya memesan indomie rebus pake telor dan cabe rawit. Laper gila rasaya abis naik turun tembing yang begitu terjal dengan segala jejeritan saya tadi. Sumpah, masih takjub dengan keberanian saya akhirnya berhasil memanjat tebing tegak lurus seperti itu.  Jujur sewaktu saya ingin mencoba naik Gunung Parang saya tidak menyangka bahwa tebingnya ekstrim seperti  itu jadi saya tenang-tenang aja. Ternyata.. oh ternyata…

Akhirnya semua peserta berhasil turun  dengan selamat, termasuk anak kecil berusia 8 tahun yan diajak orang tuanya.  Pendakian melalui Via Ferrata di Gunung Parang ini memang bisa ditujukan untuk usia mulai dari 5-60 tahunan. Yang penting tidak mempunyai sakit jantung dan ketinggian.

Setelah selesai makan, kami mengumpulkan tips untuk para guide yang telah bekerja keras sore itu. Dan tepat jam 8 malam perjalanan kembali ke Jakarta dimulai. Perjalanan  lancar, dan tiba kembali di Jakarta sekitar jam 12 malam. Alhamdulilah.

Lega banget rasanya bisa kembali menikmati kasur empuk di rumah. Sambil melihat-lihat foto saya merasakan kembali tangan saya dingin dan berkeringat jika melihat betapa tingginya saya memanjat dan betapa berbahayanya posisi saya saat itu. Jika jatuh ke bawah sudah pasti nyawa taruhannya.

Catatan :
  • Untuk yang takut ketinggian dilarang keras mengikuti kegiatan ini. Kalau merasa takut tapi  masih ingin mencoba naik, lebih baik minta giliran terakhir karena jika ingin turun tidak menganggu peserta lain di belakangnya.  
  • Kita masih bisa naik dengan memakai tas ransel kecil atau tas tas selempang yang tidak menganggu pergerakan  sewaktu memanjat. Tas sangat penting dibawa karena untuk membawa air minum dan cemilan serta HP. Di shelter paling atas sebelum kita turun sinyal sangat kencang, kita bisa langsung upload foto ke sosmed atau melakukan video call atau live report dari ketinggian Gunung Parang.
  • Karena cuaca yang bisa mendadak berubah, jangan lupa membawa jas hujan atau jaket di tas. 
  • Jangan lupa membawa obat-obatan pribadi, seperti obat pusing, tolak angina atau sejenisnya. Jangan lupa pula bawa autan.
  • Dan yang paling penting, kondisi fisik mesti prima dan siap-siap untuk pegal-pegal enak setelahnya. Hehe..


No comments:

Post a Comment