Wednesday, 7 November 2012

Trip To Baduy Dalam






















Yakin kuat jalan kaki? Tempatnya jauh banget lho, mbak. Jalan kaki berjam-jam. Itu adalah tanggapan dari teman saya ketika mengetahui bahwa saya  berniat  ke Baduy Dalam.
Pokoknya jalannya jauh banget, lo mesti siap-siap. Itu kata temen saya yang lain yang sudah pernah ke Baduy.
Sejak saya berkesempatan berkunjung ke
Suku Kajang di Sulawesi Selatan yang mirip dengan suku Baduy. Saya memang mempunyai niat yang cukup besar untuk berkunjung ke sini. Letaknya juga tidak terlalu jauh dari Jakarta, maksudnya tidak sampai ke pulau lain seperti misalnya jika ke suku Anak Dalam di Jambi. 

Di Ciboleger udah ada Alfamart
Trip ke Baduy yang dinantikan ditawarkan ke saya sewaktu saya ada acara keluar kota. Jadi saya tidak bisa ikut. Okelah, mungkin belum waktunya saya kesana.  Tawaran kedua datang lagi, sekitar bulan Agustus kalau tidak salah, untuk keberangkatan pada tgl 7-9 September 2012. Karena pada tanggal itu saya belum ada acara, saya langsung daftar melalui sms. Tetapi, karena niat yang belum kuat, membayangkan bakal sengsara di perjalanan, ada saja hal-hal yang hampir membatalkan keberangkatan saya ke Baduy Dalam.  Jadi supaya menghindari terlanjur bayar tapi tidak bisa ikut, saya membayar biaya trip tepat di detik-detik terakhir batas waktu pembayaran. Malah pada hari H pun, saya masih berusaha untuk batal dengan mengirim sms kepada Dhyan yang dibalas dengan telpon yang intinya pokoknya saya harus ikut, kalau tidak uang hangus, tidak dapat dikembalikan.

Akhirnya, jam 9 malam saya sudah tiba di meeting point seberang TMP Kalibata dan sambil menunggu peserta lain yang belum datang, panitia membagikan kaos dan sinopsis mengenai suku Baduy. Jadi sambil menunggu bisa baca sinopsisnya sehingga mengetahui garis besar tentang suku Baduy yang akan kita kunjungi tersebut.

Kira-kira pukul 10 malam, seluruh peserta yang berjumlah 42 orang dengan 10 orang panitia berjalan menuju alat transportasi yang akan membawa kami semua ke Cibolegar. Alat transportasi tersebut adalah truk tronton. Hiks... udah kebayang deh bakal sengsara sepanjang perjalanan, tapi karena sudah niat ya apa boleh buat, segala risiko harus ditanggung. Termasuk terkena angin malam sepanjang jalan karena saya duduk paling ujung. Untunglah, ada minyak gosok dari Dhyan jadi saya tidak masuk angin. Panitia memakai tronton karena medan menuju Ciboleger yang curam dengan kondisi jalan yang berlubang di sana sini, sehingga kendaraan ini yang paling memadai. Dan lagi dengan biaya 200 ribu per orang memang tidak mungkin memakai transportasi lain. 
Setelah badan terguncang-guncang sepanjang perjalanan di tempat duduk yang keras, kurang lebih jam 3 pagi akhirnya kami sampai di Cibolegar di mana kami meneruskan istirahat di penginapan sederhana yang hanya berupa kamar dengan kasur tipis. Satu kamar beramai-ramai dengan peserta perempun yang lain. Tetapi untunglah saya bisa tidur, cukup untuk menyimpan tenaga persiapan perjalanan jauh pada pagi harinya. 
Sekitar jam 7 pagi kami semua sudah mempersiapkan keberangkatan dengan mandi, makan pagi dan membeli bekal untuk makan siang serta briefing yang berlanjut dengan perkenalan antar peserta. Untuk trip kali ini diorganisir oleh  teman-teman dari PETA (Pencinta Tanah Air) dengan dikenakan biaya Rp. 200 ribu per orang, termasuk transportasi, kaos, sinopsis, penginapan, retribusi dan uang kadeudeuh. Tetapi tidak termasuk konsumsi, sehingga untuk makan harus menyiapkan sendiri. Untuk makan malam kami patungan membawa indomie, beras dan ikan asin dan akan dimasak di sana oleh penduduk yang rumahnya menjadi tempat menginap kami. Teman-teman dari PETA sudah beberapa kali menyelenggarakan perjalanan ke Baduy Dalam serta sudah berpengalaman dalam tim SAR, sehingga saya optimis perjalanan ini akan berjalan sesuai dengan itinerary yang telah disusun.

Peta Perjalanan
Saat Briefing (by Njang Abas)
Keadaan di depan tempat kami menginap di Ciboleger
Teman-teman dari Baduy Dalam yang menemani di perjalanan.

Kampung yang termasuk di Baduy Dalam ada 3 yaitu Cibeo, Cikertawarna dan Cikeusik, tetapi kampung yang terbuka untuk menerima orang luar menginap adalah  Cibeo. Rute keberangkatan dan pulang berbeda, untuk berangkat kami akan menempuh jalan sepanjang 10 km dengan melewati Dandang Ageng, kampung Keduketer sampai di Baduy Dalam (Cibeo) dengan melewati banyak tanjakan dan turunan diantaranya adalah Tanjakan Penyesalan yang merupakan tanjakan yang paling panjang. Saking panjangnya tanjakan itu mungkin banyak yang menyesal ikut trip ini, hihihi..
Sedangkan untuk jalur pulang lebih jauh lagi yaitu sepanjang 14 km tetapi dengan tanjakan yang lebih sedikit melalu : Kampung Cikertawarna, kampung Gajeboh dan Ciboleger. 
Setelah berdoa bersama untuk keselamatan mulailah kami berjalan bersama-sama, menelusuri kampung Ciboleger lanjut ke kampung Baduy Luar yang rumah-rumahnya sudah lebih modern. Di sini beberapa wanita sibuk menenun kain untuk  dijual serta pada beberapa rumah  menjual souvenir khas baduy. Untuk suku Baduy Luar memang sudah lebih modern, penduduknya bisa memakai alas kaki dan sebagian besar rumah sudah menggunakan listrik.

Peraturan di kawasan Baduy Dalam
 


Hiks.. perjalanan memang berat, baru sekitar 15 menit perjalanan dan baru melewati satu tanjakan saja rasanya udah capek banget. Bagi yang tidak ingin membawa beban di perjalanan sehingga bisa berjalan dengan lebih leluasa, dapat menggunakan porter orang Baduy Dalam yang siap membawakan barang dengan tarif 50 ribu pp. Saya memang tidak memakai porter karena bawaan tas saya memang hanya sedikit jadi tidak terlalu berat. Salah satu orang Baduy temannya Dhyan, namanya Kang Naldi,  baik sekali, membuat tongkat dari batang pohon yang ditemukan di jalan agar digunakan sebagai tumpuan jika menanjak. Sangat membantu sehingga bisa lebih cepat berjalan.

 


Desa Baduy Luar
 








 


Perjalanan juga terasa lebih berat karena selain matahari bersinar terik, kemarau panjang saat itu membuat pohon-pohon menjadi kering dan di beberapa bagian tanah retak –retak karena panas. Setelah sekitar 1 jam berjalan, akhirnya sampailah kita di Dandang Ageng yang merupakan nama lokasi dimana terdapat danau kecil yang airnya berwarna kehijauan. Di tempat itu kelompok kami beristirahat agak lama.
Perjalanan kembali dilanjutkan kali ini melewati beberapa leuit yang merupakan lumbung tempat meletakkan padi hasil panen penduduk Baduy Luar. Di sini kami kembali duduk beristirahat dan tampak di kejauhan bukit-bukit selanjutnya yang harus didaki. Aduh, mau nangis rasanya. Masih jauh banget tapi the show must go on.  
 



Leuit (lumbung padi di Baduy Luar)
Danau Dandang Ageng
 

 
Kami makan siang di teras rumah penduduk di daerah perbatasan di mana kami masih bisa foto-foto di kampung Keduketer, karena setelah itu semua peralatan elektronik harus dimatikan.
Orang-orang Baduy Dalam yang membawakan barang-barang kami hanya melihat kami sambil sesekali tersenyum-senyum dan mengajak kami bercakap-cakap dengan polos. Mereka tidak putus memberi semangat kepada kami untuk segera meneruskan perjalanan dan tidak terlalu lama beristirahat. Karena semakin lama beristirahat  untuk memulai berjalan lagi akan semakin malas. 
Untuk perjalanannya sendiri yang bagi kami ditempuh dalam waktu sekitar 4 jam, dapat ditempuh oleh mereka hanya dalam 1 jam saja, selain karena mereka sudah terbiasa, mereka mempunyai jalan memotong sehingga lebih cepat.  Bayangkan, sejak kecil mereka sudah dilatih berjalan jauh bahkan sejak bisa berjalan, sekitar usia 1 tahun,  apabila diajak bepergian bersama dan menangis karena capek, orang tua mereka melatih dengan membiarkan mereka berjalan sendiri dan tidak serta merta langsung menggendongnya. Sejak kecil pula mereka diberi parang sebagai pegangan sehari-hari, dibiarkan berkeliaran di alam untuk bisa bertahan hidup. Alhasil banyak anak-anak kecil sekitar usia 6 tahun yang berjalan-jalan sendiri sambil membawa parang.
Akhirnya setelah berjam-jam naik turun bukit, diseling istirahat berkali-kali, ditambah jatuh dan kaki kram akhirnya sampai juga  di lembah yang penuh dengan pepohonan rindang.  Dari daerah yang rindang oleh pohon tersebut ternyata masih harus berjalan kaki sekitar 15 menit lagi baru akhirnya benar-benar sampai di kampung Cibeo.  Malam ini kami akan bermalam di rumah penduduk dan tuan rumah kami adalah pak Sapri dan ibu yang ramah.


Semua kegiatan MCK dilakukan di sungai dibagian yang khusus diperuntukkan bagi wanita, bagian sungai untuk pria ada lokasinya sendiri. Saya kira ada semacam bilik sehingga bisa berMCK dengan leluasa tetapi ternyata tidak ada, jadi kalau malu ya mesti pakai kain sebagai penutup. Malam itu saya hanya lap badan saja pakai handuk, nggak kepikiran lagi deh untuk mandi. Oiya, di sini sabun dan odol dilarang dipergunakan. Masyarakat baduy dalam memang masih alami sekali sehingga beberapa hal-hal yang bersentuhan dengan modernisasi tidak diperbolehkan. Bahkan mereka pun tidak diperbolehkan sekolah. Menurut salah satu penduduk Baduy Dalam, pada akhirnya mereka belajar membaca dan menulis secara mandiri. Persinggungan dengan teknologi modern hanya dapat dilakukan sewaktu mereka meninggalkan desa untuk suatu keperluan dan ketika kembali ke desa mereka tetap mengikuti adat.
Seperti info yang saya baca group wong banten di yahoo, suku Baduy Dalam adalah  suku yang masih sangat teguh memegang adat nenek moyang mereka, masyarakat Baduy menjaga keseimbangan hidup berdasarkan adat dan kepercayaan, berupa berbagai pantangan atau tabu. Perilaku perseorangan dan kelompok dibatasi oleh adat. Melalui adat itulah, sistem pengendalian sosial dikembangkan melalui perantaraan Puun. Puun, sebagai pemimpin dan pengendali sosial dalam kehidupan masyarakat Baduy, memiliki otoritas yang hanya dibatasi oleh adat. Dengan mengacu pada aturan-aturan adat, Lembaga Adat Baduy memberikan respons atas persoalan- persoalan hidup mereka, termasuk penolakan terhadap berbagai tawaran pembangunan. Setiap tahun mereka juga ditawari berbagai program pembangunan di Baduy, seperti sekolah, balai pengobatan, listrik masuk desa, hingga penyediaan mesin tenun. Namun, Lembaga Adat Baduy tetap menolak berbagai tawaran program pembangunan itu. Adat masyarakat Baduy, terutama Baduy Dalam, mempunyai  hukum-hukum adat yang bersifat mengikat. Segala hal yang dilarang adat, walau tidak secara tertulis, tidak dapat ditentang. Pelanggaran terhadap aturan-aturan adat itu dipercaya akan membawa bencana. 
Untuk pertanian, masyarakat Baduy telah mempunyai sistem dan cara pertanian sendiri. dengan sistem pertanian yang menghasilkan panen satu kali dalam setahun, mereka percaya mampu memanen gabah yang baik dan tahan disimpan di lumbung hingga puluhan tahun. Menurut masyarakat Baduy, kalau pertanian dipaksakan menggunakan pupuk supaya bisa panen dua kali setahun, kualitas padinya malah jadi menurun. Masyarakat Baduy, khususnya Baduy Dalam, menggantungkan hidupnya pada pertanian tradisional. Mereka menanam padi dan palawija di ladang tadah hujan (huma). Sesuai adat, pengolahan pertaniannya tidak boleh menggunakan alat-alat berat, seperti cangkul dan bajak. Mereka juga tidak diperbolehkan membelokkan air untuk pengairan huma. Padi yang dipanen selama satu tahun sekali ini disimpan dalam leuit (lumbung padi). Padi yang disimpan dalam lumbung khas Baduy bisa bertahan hingga puluhan tahun. Padi tersebut, sesuai adat, tidak boleh dijual.
Selain menjadi petani, masyarakat Baduy juga menjual hasil tanaman lain, seperti pisang, mentimun, durian, kacang panjang, kacang tanah, kunir, jahe, kencur dan lain-lain.


Anak2 Suku Baduy Luar



Sesorean di baduy dalam kami isi dengan acara keliling kampung Cibeo, walaupun letaknya di pelosok tetap ada yang jual minuman kaleng dan berbagai jajanan. Dibawa oleh bapak penduduk Baduy Luar dan di jual disana khusus weekend kalau ada tamu yang datang. Setelah keliling, kami menghabiskan waktu dengan bercakap-cakap di teras rumah dan membeli souvenir khas baduy yang ditawarkan. Saya membeli syal, gantungan kunci, kaos dan madu. Ih banyak banget ni belanjaannya.. untung besok madunya dibawain sama anaknya Pak Sapri yang bernama Aldi, jadi nggak berat.

Dari ngobrol-ngobrol dengan penduduk baduy dalam,  pantangan yang paling utama dan paling umum diketahui oleh banyak orang adalah tidak boleh naik kendaraan umum. Tetapi bukan berarti mereka tidak bisa bergaul dan mengenal dunia luar. Mereka tetap bisa datang ke Jakarta dan ke tempat lain asal dilakukan dengan berjalan kaki. Mereka mempunyai saat bebas ketika pekerjaan di kampung sedang tidak ada dan diisi dengan bertandang ke Jakarta, menemui teman-teman yang sudah datang ke kampung mereka. Lama perjalanan ke Jakarta dengan berjalan kaki adalah 2 hari dengan mengikuti rel kereta api sebagai penunjuk jalan. Mungkin kereta api rute Rangkasbitung - Jakarta.  Bahkan kami sudah janjian dengan Safri alias Baim dan Juli, orang Baduy yang paling gaul dan paling banyak ngobrol dengan kami untuk bertemu dengan mereka kalau ke Jakarta karena  Baim ada undangan kawinan di Bidakara. Hebat sekali yaa... Tapi tetap yang kita harapkan mudah-mudahan walaupun sudah kenal dengan kehidupan kota besar mereka tetap bisa menjaga adat istiadat.  

Makan malam yang sudah disiapkan tuan rumah kami sambut dengan gembira, menunya adalah  indomie, nasi putih, ikan asin, sambal dengan minuman teh manis panas memakai gelas dari bambu.  Terasa berkali lipat lebih lezat karena dimakan dalam keadaan lapar serta badan capek luar biasa setelah perjalanan jauh naik turun bukit.  Kenyang, udara dingin, tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan selain ngobrol dan keadaan rumah yang remang-remang hanya disinari cahaya dari lampu minyak, membuat kami mengantuk dan langsung pulas.  Bahkan saya sudah tidak bisa bangun lagi ketika diberitahu bahwa ada acara perkenalan dengan Jaro sebagai wakil dari Puun. Sepertinya hanya Dinda yang menjadi wakil dari penghuni rumah pak Safri malam itu. Memang sudah tidak ada yang bisa dilakukan lagi, karena seluruh alat komunikasi dilarang dipergunakan di sini. Kami semua tidur dengan beralaskan sleeping bag di ruang tamu, sedangkan keluarga Pak Sapri semua tidur di dalam kamar yang hanya satu-satunya. Dapur terletak di bagian belakang. Rumah penduduk baduy dalam semuanya sama,  tidak memiliki jendela dan hanya mempunyai satu pintu. Bentuk rumahnya adalah rumah panggung dengan atap terbuat dari daun kelapa. 

Sekitar jam 2 malam saya terbangun karena punggung saya terasa sakit karena tidak terbiasa tidur beralaskan sleeping bag. Semua teman-teman sepertinya tertidur pulas, di tengah keheningan malam saya mendengar suara binatang-binatang malam dan akhirnya lama-kelamaan saya kembali tertidur. 


Hari Ke 2
Pagi-pagi sekali saya sudah bangun dan menunggu teman yang lain untuk bersama-sama menuju ke sungai untuk cuci muka dan buang air kecil. Setelah selesai bersih-bersih, termasuk pipis di sungai, kami sarapan dan ngopi sambil packing dan ngobrol dengan tuan rumah, Pak Sapri dan keluarga. 
Sempat jalan-jalan lagi keliling kampung dan melihat kegiatan wanita baduy menumbuk padi, melihat angklung yang dipakai untuk kegiatan kesenian di kampung dan melihat rumah Puun dari batas yang diperbolehkan.  Tadi malam ketika acara temu wicara dengan Jaro menurut cerita yang datang tadi malam, banyak pertanyaan yang diajukan tapi sepertinya lebih banyak djawab dengan sudah ketentuan adat dan masih belum ada jawaban yang lebih mendetail dari pertanyaan-pertanyaan yang ada.

Setelah acara beres-beres selesai, sekitar jam 9 pagi kami berpamitan dan memulai perjalanan pulang kembali ke Ciboleger. 


Anak2 Suku Baduy Dalam (perhatikan perbedaan di pakaiannya dengan anak2 Suku Baduy Luar)


Bersama cowok-cowok Baduy Dalam, si Baim paling gaya deh.. 



Difoto oleh Njang Abas, panitia
Difoto oleh P Ade Subrata
Ini sebenernya capek banget ngejar rombongan di depan, tapi tetep berpose ceria (by Ade Subrata)


 



 

 













Dalam perjalanan pulang kami mampir di desa Cikertawarna dan dengan menerobos hutan melanjutkan perjalanan pulang. Tetap naik turun bukit walaupun tanjakannya tidak se-ekstrem keberangkatan. 

Perjalanan pulang ini melewati kampung Gajeboh, rute yang umum dilalui oleh para pengunjung yang ingin ke Baduy. Buat yang udah kecapean jalan kaki, di sini ada penjual es cincau. Seperti oase karena setelah lama berjalan naik turun bukit di tengah cuaca panas tiba-tiba bertemu dengan penjual es cincau. Penjual ini mangkal di tengah tanjakan di tempat yang agak datar, jadi habis minum es cincau kami melalui tanjakan lagi. Lumayan deh, es cincau jadi penyemangat.

Setelah minum doping es cincau perjalanan masih sekitar 1 jam lagi dan akhirnya, hore sampai juga di batas desa Baduy Luar dengan Ciboleger dan kali ini saya termasuk kloter pertama yang sampai di Ciboleger hanya untuk satu tujuan, mandi duluan tanpa harus antri kamar mandi.  Hehe..  Pokoknya lega banget akhirnya bisa sampai kembali dengan selamat. The great adventure I'd ever have. 

Selesai mandi, satu persatu peserta lain berdatangan,  selama menunggu saya istirahat, membeli bekal untuk diperjalanan dan setelah peserta lengkap, foto bersama di depan patung Selamat Datang di Ciboleger dan akhirnya kembali ke Jakarta. 


Dokumentasi perjalanan bisa dilihat di sini, salah satu peserta memang sekalian membuat liputan untuk Tempo :




Berfoto Bersama Sebelum Pulang 




 






























































































No comments:

Post a Comment