Wednesday 28 November 2018

Jalan-jalan di Rangkasbitung

Sudah lama sekali sejak terkahir saya update blog ini, bukannya nggak ada cerita sih tapi biasalah kebanyakan acara membuat banyak sekali alasan untuk tidak menulis. Biasalah, acara lari-larian yang membuat saya mesti latihan berbulan-bulan.

Nah, kali ini saya mau menceritakan pengalaman saya ke Rangkasbitung. Ada apa ya disana? Rangkasbitung adalah ibukota kabupaten Lebak dan merupakan kota yang sudah terkenal pada jaman penjajahan Belanda karena merupakan sumber penghasilan bagi penjajah berkat hasil alamnya yang melimpah. 

Saya berjalan-jalan ke Rangkasbitung karena mengantarkan mbak ART saya yang akan pulang kampung selamanya. Istilah kerennya for good ya...hihihihi...
Karena sakit usus buntu dan harus dioperasi dan menjalani masa penyembuhan yang cukup lama, si Neng tidak dapat kembali bekerja di rumah saya.  Seetelah beberapa bulan paska operasi baru bulan ini si Neng balik lagi ke rumah saya untuk mengambil sisa pakaiannya dan sekalian saya antar pulang supaya bisa ikutan melihat kota Rangkasbitung.
Mbak ARTku ini sudah cukup lama ikut membantu di rumah, sudah sejak umur anak saya 4 tahun, sampai sekarang 13 tahun, so saya jadi penasaran juga seperti apa kampungnya. Karena desanya masih cukup jauh dari Rangkasbitung, 2 jam perjalanan dengan minibus, saya memutuskan untuk jalan-jalan saja di kota Rangkasnya dan tidak sampai ke kampungnya di Kumpay. 

Untuk menuju Rangkasbitung, saya dan Neng naik kereta api Rangkasjaya dari stasiun Tanah Abang, 
Kami sampai di stasiun Tanah Abang yang sekarang sudah luas sekali sekitar jam 9 pagi, beruntung kami tidak perlu menunggu lama, karena kereta langsung tiba dan kami bisa segera berangkat dari jalur 6,

Perjalanan ditempuh selama 2 jam dan sekitar pukul 11 siang tibalah kami di stasiun kereta api Rangkasbitung yang sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda.  Stasiun kereta api ini termasuk bangunan bersejarah peninggalan jaman kolonial Belanda.  Transportasi kereta api termasuk penting pada saat itu.

Jalan di depan stasiun yang sempit bertambah sempit dengan banyaknya becak dan ojek yang mangkal disana. Neng menawar becak karena bawaan kami yang cukup banyak. Kami menuju ke warung ibunya Neng untuk meletakkan koper dan makan disana.  
 Hanya beberapa saat kami menelusuri jalan-jalan di kota Rangkas yang sepi dan akhirnya sampai juga kami di warung Soto dan Ayam Goreng Juju. Saya langsung pesan soto ayam karena sudah lapar berat.

Setelah makan saya dan Neng pergi menuju ke alun-alun Rangkasbitung dengan menumpang angkot. Saat itu sekitar jam 12 siang, alun-alun sepi dan panas, kami hanya foto-foti dan segera menuju tujuan utama perjalanan saya ke Rangkasbitung hari ini : Museum Multatuli dan Perpustakaan Saidjah Adinda.



Sebelum datang ke Rangkas saya sudah googling dan menemukan bahwa dikota kecil ini terdapat Museum canggih bernama museum Multatuli yang diresmikan oleh Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid pada Minggu, 11 Februari 2018. Bangunan museum, yang merupakan bekas kantor dan kediaman Wedana Lebak  yang dibangun pada tahun 1920-an.

Eduard Douwes Dekker, atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli, adalah penulis Belanda yang terkenal dengan buku karangannya Max Havelaar (1860) Saat menjalani jabatan sebagai asisten Wedana Lebak, pria kelahiran Amsterdam, 2 Maret 1820 ini menyaksikan praktik pemerasan oleh bupati setempat terhadap rakyat Lebak. Max Havelaar, novel yang ditulisnya, berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda.








Tetapi, sesampainya kami disana ternyata museum tutup pada hari Senin dan kamipun gagal melihat isi museum. Tetapi kami cukup beruntung karena di halaman depan museum terdapat pameran benda-benda bersejarah yang digelar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten. 








Benda-benda yang dipamerkan merupakan replika dari benda-benda yang berada di balai pelestarian cagar budaya Banten, seperti bekas tapak kaki, dan info-imfo seputar obyek wisata yang berada di kabupaten Lebak. 

Berikut saya lampirkan dari brosur yang saya dapatkan disana : 





Di halaman museum Multatuli terdapat patung karya Dolorosa Sinaga yang terbuat dari tembaga yang terdiri atas tiga objek utama: Multatuli, Saidjah, dan Adinda. Saidjah dan Adinda adalah dua karakter yang dicuplik dari salah satu bab di Max Havelaar. 

Patung Saidjah setinggi orang dewasa berada di bagian depan. Tubuhnya tegap bertelanjang dada. Hanya mengenakan celana sepanjang betis. Tangannya terbuka seakan mempersilakan pengunjung untuk masuk melihat dua objek patung lainnya yang berada di atas panggung.
Di atas panggung, patung Adinda seorang diri duduk di bangku panjang. Matanya menatap lemari yang berisi beragam buku. Adinda digambarkan sedang melihat koleksi buku di lemari. Itu menunjukkan ketertarikannya akan sejarah. 

Di samping lemari, duduk sosok Multatuli. Kepalanya tertunduk menatap buku. Bukunya dibuat jauh lebih besar daripada tubuh Adinda, . Dolorosa sengaja membuatnya demikian karena ada pesan yang ingin disampaikan.Buku Multatuli itu melambangkan sumber persatuan yang mencerdaskan kita semua, baik pikiran maupun jiwa. Ukurannya lebih besar daripada dirinya karena buku itu sangat berharga. 






Di sebelah museum Multatuli terdapat perpustakaan daerah Rangkasbitung yang bernama Saidjah dan Adinda. Saidjah dan Adinda adalah pasangan muda mudi yang ceritanya berakhir tragis pada masa kolonialisme Belanda di Rangkasbitung. 

Bangunan perpustakaan yang modern dan unik terlihat mencolok diantara bangunan di sekitar alun-alun dan kota Rangkasbitung.  Keren banget.





Setelah puas foto-foto di museum dan perpustakaan, kami melanjutkan perjalanan ke Balong Ranca Lentah.  Balong yang artinya Kolam Lintah Rawa. Ini arti berdasarkan google translate. 
Menurut google map si Balong ini hanya sekitar 4 menit berjalan kaki dari museum. Dalam perjakanan menuju ke sana kami melewati Watertoren alias menara air yang tadi ada tulisannya di pameran cagar budaya.  (lihat gambar)



Sesampainya di Balong Ranca Lentah, yang ternyata adalah telaga kecil ber air hijau kami foto-foto dan berjalan memutari telaga dan menemukan mobil yang menjual sop duren. Wah, lumayan nih sebagai penghilang dahaga di siang yang panas, Sambil minum es kami duduk-duduk di bawah pohon dan melihar-lihat keadaan. Rangkasbitung kota kecil yang sepi sehingga tidak terlalu banyak kendaraan yang lalu lalang. 





Setelah puas menikmati suasana, saya dan Neng naik angkot yang lewat untuk langsung menuju stasiun. Sesampai disana saya masih sempat jalan tahu crispy dan tepat ketika saya masuk stasiun kereta Rangkasjaya menuju Jakarta telah tiba dan saya langsung naik. 

Berakhirlah petualangan saya di Rangkasbitung dan saya akan kembali lagi untuk melihat museum Multatuli. Ada yang mau ikut?