Monday 30 June 2014

2 Days 1 Night at Bandung



Sejak mendapat kepastian bahwa saya mendapat voucher menginap satu malam dari hotel Sheraton Bandung,  itinerary perjalanan ke Bandung sudah disusun dengan seksama. Walaupun hanya satu malam, waktu harus digunakan sebaik-baiknya.  Apalagi ini adalah kesempatan liburan terakhir sebelum memasuki bulan puasa.
Sehari sebelum keberangkatan, karena saya mendapat undangan mendadak maka tanggal keberangkatan terpaksa diubah menjadi hari Minggu, tanggal 22 Juni 2014, tepat di hari ulang tahun Jakarta ke 468. Belakangan, kami, saya dan Dessy, malah mensyukuri perubahan tanggal ini karena perjalanan menjadi lebih lancar. 

Hari Minggu pagi sekitar jam 5.30an, mobil saya memasuki tol dalam kota dan lanjut menuju tol Cikampek menuju Bandung. Karena keasyikan ngobrol,  seperti biasa, belokan menuju to Purbalenyi terlewat dan saya terpaksa keluar di pintu tol Cikampek dan putar balik untuk menuju arah tol yang benar.  Biasanya sih hanya hampir terlewat, kali ini memang yang paling parah karena sudah sampai di pintu tol Cikampek.  Hehe..
Minggu pagi jalan masih lancar dan keluar pintu tol Pasteur sekitar jam 8 langsung menuju ke arah dago atas ke arah Taman Hutan Raya Ir H. Djuanda. Karena kami berdua suka olahraga lari tidak lengkap rasanya kalau traveling without running.  Sudah lama sekali saya tidak kesini, terakhir sih sepertinya ketika saya duduk di bangku Sekolah Dasar. Awal tahun ini ketika ada trail run race di Tahura saya tidak bisa ikut, jadi inilah saatnya membalasnya dengan trail run di sini. 


Di pintu masuk Tahura Ir H. Djuanda kami harus membeli tiket terlebih dulu. Harga tiket masuk untuk orang dewasa adalah Rp. 11 ribu sedangkan untuk mobil adalah Rp. 10 ribu. Yang agak mahal adalah untuk wisatawan mancanegara harga tiketnya Rp. 76 ribu. Bedanya cukup jauh ya.. 

Setelah memasukan barang-barang yang diperlukan ke hydropack masing-masing, kami menuju ke dalam area Tahura.  Jika ingin membeli minum atau makanan kecil cukup banyak warung yang tersedia. Jadi tidak perlu khawatir kalau tidak sempat sarapan atau membawa bekal. 







Memasuki areal Tahura, kami langsung disambut dengan pepohonan yang rindang dan udara yang segar. Walaupun matahari sudah bersinar lumayan terik, tetapi karena pohon-pohon yang lebat maka panas matahari tidak terlalu terasa. Jalan beraspal mulus memudahkan kita mengikuti jalur yang menuju ke arah gua Belanda untuk selanjutnya menuju ke Curug Omas.  Walaupun ada papan penunjuk tetapi kami tetap bertanya kepada orang yang berada disana supaya tidak nyasar.  Kami sengaja mengambil rute Gua Belanda lalu menuju Air Terjun dan ketika pulang baru singgah ke Gua Jepang.  








Area Taman Hutan Raya ini merupakan taman yang menyangga kehidupan manusia di sekitarnya, Pulau Jawa, Bali dan juga Indonesia, hal ini terdapat di papan petunjuk di bagian depan pintu masuk. Ada ucapan bertuliskan Selamat Datang Di Jalur Peyangga Kehidupan. Jika mempunyai waktu banyak, bisa menelusuri lokasi-lokasi lain, seperi airterjun yang ternyata ada beberapa buah, selain curug Omas yang kita datangi kali ini. Ada Curug Koleang, Curug Kidang dan Curug Lalay serta ada pula penangkaran lebah dan penangkaran rusa. Mungkin bisa singgah di kantor Tahura supaya mendapat info lebih jelas.   Nama-nama pohon juga  ditulis di papan informasi dan sepanjang perjalanan papan info nama tertera pada pohon tersebut. Pohon-pohon yang berada di sini antara lain adalah pohon Pinus Meksiko, Pohon Cedar Honduras, Pohon Mahoni Uganda, Pohon Kayu Manis, Pohon Kondang.  Sedangkan sungai sungai yang mengalir di Tahura ini adalah sungai Cikapundung dan Sungai Cikawari.

Setelah beberapa saat berlari akhirnya kami sampai di Gua Belanda.  Gua Belanda ini dibangun pada tahun 1906  sebagai terowongan penyadapan aliran air sungai Cikapundung untuk PLTA yang dibuat oleh BEM (Bandoengsche Electriciteit Maatschappij). Hal ini karena Bandung berkembang menjadi kota yang berpenduduk cukup banyak pada masa itu. Namun, karena  sebab yang belum diketahui PLTA ini tidak berfungsi lama.  Pada Tahun 1918 terowongan ini beralih fungsi untuk kepentingan militer dengan penambahan beberapa ruang di sayap kiri dan kanan terowongan utama.  Sementara itu, sistem PLTA dibangun kembali dengan perubahan jalur penyadapan yang tak lagi melalui Goa Belanda melainkan melalui saluran-saluran air bawah tanah hingga muncul kembali ke permukaan tanah di Pintu II Tahura dan ditampung di kolam Tandon Harian yang dikenal dengan Kolam Pakar.  Dari Kolam Pakar air disalurkan melalui pipa ke PLTA Bengkok yang difungsikan tahun 1923, yang sejak tahun 1921 dikelola oleh perusahaan listrik Belanda GEBEO yang pada masa kemerdekaan berubah menjadi PLN.  Karena perbukitan Pakar merupakan kawasan yang menarik bagi strategi militer Hindia Belanda, lokasinya yang terlindung dan dekat dengan kota Bandung, maka menjelang perang dunia ke II pada awal Tahun 1941 Militer Hindia Belanda membangun stasiun radio Telekomunikasi.  Stasiun radio ini merupakan stasiun radio pengganti dari Radio Malabar di Gunung Puntang yang berada di wilayah yang tak terlindung dari serangan udara. 






Gua Belanda

Untuk memasuki Gua Belanda pengunjung bisa menyewa senter dengan harga Rp. 5000,- Sedangkan jika ingin memakai pemandu menjadi Rp. 25 ribu.   Setelah mendapat senter kami segera memasuki Gua Belanda. Seperti denah yang terdapat di papan informasi di luar, gua ini terbagi menjadi lorong-lorong.  Salah satunya adalah lorong yang menjadi tempat tahanan.  Kami tidak terlalu lama berada di dalam gua, hanya memasuki beberapa lorong saja.  Setelah mengembalikan senter kami segera melanjutkan acara trail kami.  Sebenarnya dari ujung gua kami bisa memotong jalan untuk melanjutkan perjalanan ke arah air terjun, tetapi kami memilih jalan biasa yang memutar. 






Jalan yang menuju air terjun sudah berganti menjadi jalan conblok dan diseling jalan tanah yang becek disana sini. Mungkin tadi malam Bandung hujan sehingga masih menyisakan genangan di beberapa tempat.  Tanjakan yang cukup panjang juga mulai mewarnai perjalanan kami, sehingga saya mulai berjalan. Lari hanya dilakukan ketika jalan datar dan tidak licin atau becek. Sambil menikmati udara pegunungan yang sejuk, tanjakan tersebut jadi tidak terasa. Jalan di sini sih tidak ada apa-apanya dibandingkan ketika saya lari trail di Gunung Pancar beberapa saat yang lalu. Tanjakannya jauuuh lebih ekstrim. Ini hanya trail cantik, istilah kami untuk lari santai di perbukitan, untuk persiapan jika lain kali ada acara race di sini kami sudah mengenal medannya terlebih dulu.  Setelah berjalan kurang lebih 30 menit akhirnya kami sampai di sebuah jembatan dimana terdapat petunjuk tentang  perbukitan yang tepat berada di depan saya.  Bukit di depan saya tersebut dinamakan Patahan Lembang.  

Patahan Lembang

Dari papan petunjuk yang berada di sana, dijelaskan mengenai patahan atau sesar yang dalam ilmu geologi adalah istilah untuk sebuah retakan besar di kerak bumi yang telah mengalami pergeseran.  Pembentukan Sesar Lembang diperkirakan terjadi secara berangsur dari timur ke barat antara 100.000- 25.000 tahun yang lalu dan berhubungan erat dengan meletus dan runtuhnya gunung-gunung api, Gunung Sunda, Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Bukittunggul di utara kota Bandung.  Berdasarkan penelitian, ahli geologi memperkirakan bahwa sesar ini adalah sesar aktif, karenanya bisa menyebabkan gempa bumi.
Penjelasan mengenai pembentukan Gunung Sunda ini juga terdapat di papan petunjuk yang terletak di dekat Gua Belanda. Jika ingin mempelajarinya lebih jauh jangan lupa membacanya jika berkunjung ke sini. 




Setelah beristirahat sebentar di warung yang berada di dekat jembatan, kami akhirnya melanjutkan perjalanan yang ternyata sudah tidak jauh lagi untuk menuju ke air terjun. Sesudah jembatan, dan melalui  jalan yang agak menanjak, sesuai petunjuk kami mengambil jalan di sebelah kanan menuju air terjun. Nah, di sini mulai agak menyeramkan karena banyak sekali monyet berkeliaran.  Monyet tersebut  berasal dari jenis monyet ekor panjang. Saya berusaha bersikap cool dan acuh supaya tidak menarik perhatian monyet-monyet tersebut. Pengalaman terakhir, kaki saya pernah dipeluk oleh seekor monyet di Tawangmangu, Solo dan itu sangat mengerikan. Takut aja sih, kalau monyet-monyet itu jadi ganas dan melukai saya.  Mulai deh, lebay.. hehehe... 

 Suara deru air terjun yang makin jelas menyambut saya dan taraaa... akhirnya kami berdiri di depan jembatan yang tepat berada di bagian air sungai  Cikawari yang terjun ke bawah. Tinggi air terjun kira-kira 30 meter dan arusnya memang deras sekali. Menurut info yang saya dapat kedalaman air terjun mencapai 10 meter. Karena membahayakan maka disamping sungai dan air terjun diberi pagar kawat yang cukup tinggi. Untuk mengambil foto yang lebih jelas, kami harus naik lagi ke atas, ke area taman dimana terdapat warung-warung yang menjajakan makanan dan minuman. Di sini lebih banyak lagi monyet-monyet berkeliaran yang diberi makan oleh pengunjung. Tampaknya sih jinak, tapi kami tidak mau mengambil resiko dengan makan disana, karena takutnya monyet-monyet tersebut akan mengambil makanan kami. Jadi daripada makan tidak tenang, kami memutuskan lebih baik makan di warung dekat jembatan saja. Di sini juga ada ibu-ibu yang menawarkan tikar untuk rombongan yang ingin berwisata disana.


 










Kami melanjutkan perjalanan pulang dengan melewati jalan yang kami lalui ketika naik, karena banyak turunan perjalanan menjadi lebih cepat. Banyak juga rombongan pengunjung yang baru datang. Ada beberapa yang bertanya apakah jalan menuju air terjun masih jauh. Kalau yang bertanya cowok-cowok abg saya jawab aja tinggal dikit lagi, biar semangat.  Kami bertemu dengan rombongan keluarga yang membawa bawaan cukup banyak dan termos nasi yang cukup besar, pasti mau makan siang di dekat air terjun. Selain itu kami bertemu dengan rombongan para fotografer yang tadi  bertemu di pintu masuk dan membantu mengambil foto.

Supaya lebih cepat kami memotong jalan melewati Gua Belanda, tidak menyewa senter kami hanya mengandalkan cahaya yang tampak di ujung pintu gua. Ternyata berjalan dalam gelap itu cukup susah untuk  menjaga keseimbangan tetapi ketika sampai di tengah jalan, cukup terbantu karena saya nebeng cahaya senter rombongan di depan saya. Di depan Gua Belanda sudah semakin banyak pengunjung yang datang, karena tempatnya yang teduh dan banyak pohon, jadi walaupun datang siang panas matahari tidak terasa. 


Gua Jepang




Tujuan kami selanjutnya adalah Gua Jepang, dimana bagian dalamnya lebih alami dari gua Belanda karena masih berbentuk tanah berbatu-batu dan bagian dalamnya juga lebih gelap dari pada Gua Belanda. Menurut sejarahnya Gua Jepang ini adalah satu dari puluhan Gua Jepang yang tersebar di Indonesia yang pada umumnya dibuat pada tahun 1942 – 1945.  Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bandung merupakan markas salah satu dari tiga kantor Besar (bunsho) di Pulau Jawa. Bandung juga menjadi tempat pemusatan terbesar tawanan perang mereka, baik tentara KNIL  (Tentara Hindia Belanda) dan satuan sekutunya, maupun warga sipil.  Selain membuat gua sendiri yang dipergunakan untuk menyimpan amunisi, logistik dan komunikasi radio pada masa perang, mereka juga memanfaatkan gua peninggalan Belanda.  Kami hanya menelusuri gua di lorong bagian depan dengan bantuan cahaya dari HP saja karena tidak ingin masuk terlalu dalam ke lorong-lorong lainnya. Teman saya Dessy rupanya takut gelap, jadi setelah berfoto kami segera menuju ke area parkir.

Dalam perjalanan ke area parkir, kami malah menemukan patung Ir H Djuanda dan musiumnya yang menjelaskan sejarah kehidupan Ir. H. Djuanda, serta kompleks Tahura yang menjadi hutan dan penyangga kehidupan.  Area Tahura sangat luas sampai ke daerah Lembang dan diapit oleh gunung-gunung serta ada beberapa air terjun di dalamnya. Kalau punya waktu seharian bisa menjelajah sampai ke obyek wisata Maribaya yang terletak di Lembang.








Untuk makan siang kami sudah memutuskan untuk singgah di resto Lawang Wangi yang terletak di daerah Dago Giri. Dari arah Tahura, saya harus berputar arah lalu mengikuti jalan kecil yang menuju ke bawah. Beberapa papan petunjuk menuju Lawang Wangi cukup jelas sehingga kami tidak kesulitan menemukannya. Bangunan modern berwarna putih dengan kaca-kaca lebar menyambut kami. Di bagian bawah dijadikan display art space dengan bentuk-bentuk barang yang cukup unik, seperti kubus yang besar berwarna warni dan kursi dengan sandaran miring. Disana juga dijual barang-barang yang unik-unik seperti radio dari kayu.  Beberapa lukisan juga di display di sebuah ruangan khusus.

Restonya sendiri terletak di lantai 2 dengan pemandangan perbukitan yang hijau. Karena di dalam sudah penuh kami duduk di bagian luar yang cukup panas jika matahari bersinar terik. Beruntung, tak berapa lama awan tebal menyelimuti matahari sehingga ketika kami makan tidak kepanasan. Duduk di luar juga memudahkan kami untuk foto-foto. Resto ini juga menyediakan lokasi  terbuka khusus untuk berfoto. Pokoknya rasa makanan yang biasa-biasa saja tidak menjadi masalah, karena memang pengunjung ke sini untuk menikmati pemandangan.  Kami memesan Chicken Lawang Wangi dan Chicken Snitzel,  serta minumannya Lawang Wangi Sunset dan Lawang Wangi Smoothies.  Cukuplah untuk perut kami yang lapar setelah trail cantik tadi.

Setelah perut kenyang, dan memulai perjalanan panjang sejak pagi,  kami akan beristirahat satu malam di Hotel Sheraton Dago.   Letaknya  tidak terlalu jauh karena masih di area Dago atas, tepatnya di Jl  Ir. H Djuanda No. 390, Bandung  40135.  Hotel yang dahulu bergaya tradisional jawa ini telah direnovasi total sehingga menjadi bergaya minimalis modern. Keseluruhan hotel dicat warna putih sehingga berkesan bersih dengan lobby yang tampak mewah dengan tambahan hiasan gelas berwarna biru muda di langit-langit yang terlihat unik. Kolam renangnya juga diberi kursi-kursi dengan bantalan berwarna pink cerah serta ada sofa unik yang bertutup runcing untuk tempat leyeh-leyeh yang nyaman.  Taman-taman yang berhias bunga warna warni dan  dilengkapi dengan kolam berada di antara bangunan hotel.  Sofa-sofa empuk terdapat di beberapa sudut hotel sebagai pelengkap interior. 









Sofa di lobbynya juga empuk dan nyaman membuat waktu menunggu kamar kami disiapkan tidak terasa lama. Sebenarnya kamar sudah tersedia tetapi saya minta kamar yang ada teras menghadap ke taman jadi harus menunggu dulu sampai kamar siap.

Kasur kamar yang empuk langsung menjadi tempat saya istirahat sehabis mandi, apalagi sambil nonton film HBO yang berjudul Life of Pi. Film bagus yang belum saya tonton. Kamarnya juga cukup nyaman termasuk kamar mandinya yang cukup luas.  Amenitiesnya juga cukup lengkap dan ada hair dryer pula.  Buah-buahan selamat datang disediakan pula di tiap kamar.
Sehabis maghrib kami bersiap-siap karena akan makan diluar bersama teman yang tinggal di Bandung. Tepat jam 7 malam, teman saya sudah berada di lobby dan setelah ngobrol sebentar kami segera menuju Kedai Nyonya Rumah di  Jl.  Trunojoyo untuk makan malam.

Teman saya yang memilih tempat makan ini karena setelah makan dengan menu ala kafe modern, saya  ingin makan makanan tradisional Indonesia yang spicy. Dan pilihan Kedai Nyonya Rumah ini adalah pilihan yang tepat.  Kedai Nyonya Rumah didirikan olen Ny. Julie Sutarjana yang saat ini sudah berusia 85 tahun. Beliau adalah salah satu pengisi rubrik Dapur Kita di koran Kompas Minggu sejak tahun 1970-an. Selain itu beliau juga aktif menulis aneka buku resep masakan, kue dan minuman. Sehingga rasa masakannya pasti sudah tidak diragukan kelezatannya. Pada tahun 1998 beliau membuka Kedai Nyonya Rumah yang pertama di Jl. Naripan 92 C, kedai yang kami datangi ini berada di Jl Trunojoyo No. 29, baru dibuka pada tahun 2004.





Menu-menunya semua tampak nikmat tetapi karena saya termasuk penikmat lontong sayur menu itulah yang saya pilih, Lontong Sayur Komplit.  Dua teman saya lain memilih Lontong Laksa dan Nasi Ulam.  Sambil menikmati makan malam, teman saya, kang Aki Niaki menceritakan pengalaman  beliau sejak rutin berolahraga lari yang dimulai pada usia yang tidak muda lagi, diatas 50 tahun.  Beliau juga memberikan  tips-tips yang berguna jika kita ikut lomba lari.  Tak terasa malam menjelang  dan akhirnya kami kembali ke hotel ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam.  Sampai kamar setelah bersih-bersih saya segera tertidur karena sudah sangat mengantuk.  Teman saya, Dessy, yang suka nonton bola, tampaknya masih ingin menonton pertandingan Piala Dunia. Nite nite..

Esok paginya sebelum sarapan, untuk menghilangkan kantuk, saya menyeduh kopi dan duduk-duduk di kursi depan teras kamar kami yang menghadap ke taman sambil ngobrol. Sayang kalau ada kursi di teras tetapi tidak dimanfaatkan, apalagi udara di Bandung pagi itu cerah sekali. 



Usai ngopi,  kami melanjutkan acara pagi itu dengan berenang di kolam renang hotel serta duduk-duduk di kursi malasnya yang unik. Yang berenang hanya Dessy, saya memilih untuk bermalas-malasan sambil membaca.




Setelah puas berenang,  barulah kami sarapan. Wah, makanan yang disajikan benar-benar juara. Selain lengkap, rasanya juga nikmat. Mulai dari bubur ayam, sushi dan salmon sashimi yang lumer di lidah, tortila dan quiche salmon yang nikmat. Aneka pastry, keju, waffle dengan ice cream serta buah-buahan lengkap serta marshmallow yang siap dicelupkan ke fondue coklat putih yang berupa air mancur. Puas banget deh pokoknya.



Jam 10 pagi kami kembali ke kamar untuk beres-beres serta check out sekitar jam 12 siang. Dari hotel kami menuju ke toko Eiger di Jl Sumatra dan kembali ke arah Dago untuk membeli oleh-oleh di Kartika Sari.


Ada cerita lain sewaktu kami hendak kembali menuju Jl Dago dari Jl. Sumatra, karena saya tidak pernah hafal jalan-jalan di Bandung, akhirnya kami terpaksa berkeliling Bandung sampai melewati Paskal dan bertanya ke banyak orang, hingga akhirnya sampai lagi di Jl. Dago. *hiks* Tapi dengan berkeliling Bandung ini, kami jadi bisa sekalian menikmati bagunan-bangunan lama di kota Bandung * menghibur diri.


Kartika Sari Dago telah menjadi pilihan saya untuk membeli oleh-oleh jika ke Bandung. Karena lokasinya yang strategis dan cukup lengkap dengan aneka pilihan oleh-oleh. Sekarang juga lebih lengkap lagi dengan adanya restaurant dan ATM serta baju dan pernak-pernik layaknya FO. Jika masih kurang lengkap, bisa berjalan keluar ke counter makanan di sebelah Kartika Sari. Di sana dijual aneka makanan seperti batagor dan kupat tahu dengan harga yang terjangkau. Rasanya juga lumayan kok. Berguna sekali untuk yang waktunya sempit, bisa jadi one stop shopping.  Di sebelahnya juga ada counter yang berjualan Klapertaart. 

Urusan oleh-oleh beres, saatnya pulang  ke Jakarta.   Sepertinya hanya jalan ini yang paling saya hafal dan nggak mungkin nyasar.  Setelah masuk tol Purbaleunyi,  walaupun sempat tersendat di beberapa titik karena ada perbaikan jalan,  perjalanan cukup lancar dan disambut kemacetan jam pulang kantor dan habis hujan di  Jakarta.  Tapi hal tersebut tidak mengurangi kegembiraan kami, karena liburan di Bandung memang selalu berkesan.