Asyiiik, ke yogya lagi. Hari terakhir tugas kantor masih bisa dimanfaatkan untuk jalan-jalan menelusuri Kotagede. Awalnya pengen ke salah satu pantai di Yogya, tetapi karena waktunya mepet, tujuan dialihkan ke Kotagede. Terakhir ke Kotagede sudah lama sekali, jamannya masih kuliah karena waktu itu lagi seneng-senengnya pake cincin perak, jadi nyari cincin murmer ya di Kotagede.. Hehe..
Dengan menggunakan motor, pagi-pagi jam 9an kami sudah menuju Kotagede.
Dalam perjalanan menuju Kotagede, kami mampir membeli bakpia Kurnia. Kata tante Ninik, bakpia ini sedang hits di Yogya. Berbeda dengan bakpia yang lain, isi bakpia Kurnia lebih enak rasanya. Beruntung yang sudah tersedia adalah isi keju. Jadi beli 1 kotak saja sudah cukup karena untuk dicicipi sendiri.
Wah, Kotagede sudah banyak berubah, sekarang tertata rapi dan banyak cafe-cafe baru. Mungkin tidak baru sebenarnya karena saya saja yang sudah lama sekali tidak ke sini. Salah satunya adalah Omah Dhuwur yang di halamannya banyak parkir bis pariwisata, merupakan salah satu yang kafe yang paling ramai.
Tujuan berikutnya, kompleks makam raja-raja Mataram. Di sini terdapat Mesjid Mataram Kotagede, yang sewaktu saya datang halamannya sedang dipakai untuk olahraga murid-murid SD.
Masuk agak ke dalam, melalui gapura yang bentuknya seperti candi, terdapat pemandian Sendang Seliran. Terdapat dua kolam terpisah yang agak berjauhan letaknya, untuk laki-laki dan perempuan. Konon disebut seliran karena air kolam tersebut berasal dari makam Panembahan Senopati (selira artinya badan). Sempat berpapasan dengan seorang guide yang sedang membawa tamu sepasang turis asing, dan saya disapa oleh sang guide, menterjemahkan pertanyaan dari turis tersebut saya ditanya apakah akan mandi dan bertapa di sendang. hehe.. Akhirnya tante Ninik yang menjawabnya, saya sih cuma senyum aja.
Setelah dari pemandiang, kami menuju ke kompleks makam. Awalnya saya ragu-ragu antara ingin masuk ke dalam makam atau tidak, karena tante Ninik nggak mau masuk. Males juga kalau sendirian. Tetapi ternyata ada pengunjung lain, 3 orang perempuan yang juga ingin masuk. Jadi saya memutuskan untuk masuk saja. Kapan lagi bisa ada kesempatan berkunjung ke makam leluhur. Karena konon saya juga mempunyai hubungan dengan raja-raja ini karena ada gelar RR di depan nama saya.
Sebelum masuk, saya harus ganti pakaian dengan kain dan kemben yang telah disediakan dengan membayar biaya sewa Rp. 10 ribu. Tepat jam 10 kompleks makam dibuka. Saya segera masuk menyusul tiga orang pengunjung lain yang telah masuk terlebih dahulu, soalnya tadi saya agak lama memakai kain-kain itu, ribet banget nggak biasa pake kain. Kalo copot di tengah jalan kan repot.
Kompleks makamnya cukup besar, penuh dengan nisan-nisan keluarga kerajaan. Tetapi untuk makam raja-raja utamanya sendiri terletak di sebuah bangunan. Di depan bangunan sudah terlihat para juru kunci dan pengunjung 3 orang perempuan tadi sedang berdoa sebelum masuk. Suasana di dalam terasa mistis, dengan cahaya temaram cenderung gelap serta berdebu. Di kompleks makan ini disemayamkan para leluhur kerajaan Mataram Islam, khususnya para raja beserta kerabat dekatnya, yaitu : Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Sedo ing Krapak, Kanjeng Ratu Kalinyamat, Kanjeng Ratu Retno Dumilah, Nyai Ageng Nis, Nyai Ageng Mataram, Nyai Ageng Juru Mertani, dan lain-lain.
Ada satu buah makam yang unik, karena separuh bagian berada di sisi dalam dan separuh bagian lainnya berada di sisi luar. Ini adalah makam Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Menurut cerita pak Juru Kunci yang mendampingi kami melihat-lihat, Ki Ageng Mangir adalah menantu sekaligus musuh Panembahan Senopati. Sehingga walaupun penghianat karena masih keluarga dimakamkan dengan posisi seperti itu.
Di kompleks makam ini juga disemayamkan Sri Sultan Hamengku Buwono II , satu-satunya raja Kasultanan Yogyakarta yang tidak dimakamkan di Imogiri, serta makam saudaranya, Pangeran Adipati Pakualam I.
Sayang, selama berada di kompleks makam ini tidak boleh mengambil gambar.
Setelah dari kompleks makam, tujuan
selanjutnya adalah Situs Watu Gilang dan Watu Gatheng. Tetapi sayang
sesampainya di sana, tempat tersebut tertutup dan dikunci jadi saya hanya bisa
membaca keterangan di papan bahwa Watu Gilang adalah batu andesit berbentuk pipih
yang dipercaya menjadi tempat duduk Panembahan Senopati ketika bersemedi dan
menerima jawaban Tuhan atas permohonannya melalui Bintang Jatuh. Pendapat lain
mengatakan bahwa batu ini merupakan tahta raja-raja Mataram Islam di awal
berdirinya kerajaan Mataram,
Sedangkan Watu Gatheng adalah
tiga batu bulat masif berwarna kekuning-kuningan yang berada di atas lapik
arca. Ketiga bola ini adalah permainan Pangeran Rangga, putra sulung Panembahan
Senopati. Ada pula Batu Genthong, yaitu genthong tempat air wudhu yang dipakai
oleh ki juru mertani dan ki ageng giring sebagai penasehat Panembahan Senopati.
Sayang gambar di papan penunjuk
tidak bisa dilihat lagi karena dicat hitam dan gambar lainnyapun dihapus.
kapan vit ke jogja? gw kan selarang di jogja, bilang2 ya kalo ke jogja lagi...
ReplyDeleteOya? sejak kapan? blom ada rencana lagi sih, mi.. nanti deh pasti aku kasih kabar. Minta pin bbnya dong. Inbox aja.
ReplyDeletegak punya bb vit, adanya 'black bukan berry', :p
ReplyDeletepengen juga jalan-jalan ke sini ... gak jauh dari jogja ya?
ReplyDeleteMasih di yogya kok..
ReplyDelete