Situasi
pandemi yang tidak pasti memberi dampak terhadap banyak obyek wisata di
Indonesia. Salah satunya tentu saja Bali. Bali yang biasanya menjadi tujuan
wisata turis mancanegara menjadi sepi total karena adanya pembatasan
penerbangan. Hal ini berdampak kepada harga Hotel yang menjadi murah karena
memberi diskon gila-gilaan untuk menarik turis domestik. Selain harga hotel,
tiket pesawat juga jadi murah.
Inilah saat
yang ditunggu, pas banget untuk hiling sebentar ke sana, ygy. Hehe... Akhirnya
setelah cek sana sini, dapatlah paket penerbangan dan hotel selama 4 hari 3
malam di Grand Inna Bali, Kuta untuk 2 orang. Aku ngajak Neng, asistenku yang
dari dulu sempat kunjanjikan untuk pergi outing ke Bali.
Perjalanan
ke Bandara dan pendaratan pesawat di airport I Gusti Ngurah Rai berjalan dengan
lancar. Kami senang sekali karena akhirnya bisa ke Bali lagi setelah pandemi
ini.
Sampai di
hotel karena kamar sedang disiapkan kami berjalan-jalan ke pantai Kuta yang
siang itu sepi banget dibandingkan saat sebelum pandemi dulu. Duh, sedih banget
melihat pantai yang kosong. Jalan pantai Kuta juga sepi, pokoknya semua sepi.
Toko-toko di jalan raya pantai kuta juga banyak yang tutup. Saya foto-foto di depan resto Jamie Olivier
dan jalan kaki ke pantai kuta dan makan siang di sana. Makan nasi jinggo dan
minum es kelapa muda.
Balik ke hotel, masuk ke kamar, dapet kamar di gedung lama tapi view kolam renang dan istirahat sebentar. Setelah itu sore berenang di kolam renang depan yang menghadap ke pantai. Siang tadi panas banget tapi menjelang sore mendadak mendung jadi batal mau ke pantai liat sunset.
Besok sudah order mobil di Traveloka untuk keliling Bali. Harganya standard, memang sedikit lebih murah tapi tidak terlalu banyak. Drivernya juga sudah telpon diskusi mengenai rute besok.
Sekitar jam
7.30 driver yang bernama Wayan sudah menjemput di lobi, kami segera naik dan
langsung menuju ke tujuan pertama yaitu Goa Gajah. Dari dulu memang pengen ke
sini karena penasaran aja dengan tempatnya. Sesampai di sana masih sepi karena
masih pagi, jadi kami termasuk pengunjung pertama tetapi tak berapa lama ada
rombongan datang dengan menggunakan bus. Untung kami sudah berkeliling dan
foto-foto. Saya menggunakan jasa guide jadi sekalian diceritakan mengenai
sejarah Goa Gajah yang merupakan tempat ibadah untuk agama Hindu. Lokasi
tersebut ditemukan pertama kali ditemukan pada tahun 1923 oleh pejabat Hindia
Belanda. Ketika kami masuk ke dalam terdapat 3 patung disana yaitu patung
Trilingga, Arca Ganesha dan patung Hariti. Setelah itu proses penggalian
dilanjutkan dan ditemukan pula kolam kuno pemandian suci dengan enam buah patung
perempuan.
Selain
tempat ibadah agama Hindu di bagian selatan dari kompleks Goa Gajah terdapat tempat
untuk beribadah agama Budha. Sehingga bisa dikatakan Goa Gajah ini sebagai
simbol kerukunan antar agama.
Area Goa Gajah
ini sangat sejuk karena penuh dengan pepohonan besar-besar yang rimbun. Salah
satu pohon bahkan ada berusia ratusan tahun. Sejauh mata memandang rimbun
pepohonan memanjakan mata.
Setelah puas
mengelilingi kompleks Goa Gajah, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya
yaitu :
Pura Tirta Empul
Ini adalah
Pura yang banyak didatangi oleh turis ketika berkunjung ke Bali. Saya termasuk
telat sih baru sempat ke sini. Tapi beter late than never kan.
Setelah turun
dari mobil kami masuk ke dalam area pura dan mampir dulu ke tempat sewa kain Bali
untuk dipakai di baju. Sepertinya ini merupakan syarat untuk masuk ke dalam
Pura. Saya memilih warna kain yang matching dengan baju saya. Setelah itu kami
masuk ke dalam bersama rombongan turis lain. Saya didekati oleh seorang laki-laki
yang menawari menjadi guide tetapi saya tolak karena ingin lebih bebas. Di
bagian depan dari pintu masuk ke area kolam terdapat beberpa laki-laki yang
sedang melakukan ritual keagamaan.
Pura Tirta
Empul yang terbagi atas tiga bagian, yaitu jaba pura (halaman luar), jaba
tengah (halaman tengah), dan jeroan (halaman dalam). Pembagian atas tiga
halaman seperti itu tampaknya mempunyai dasar pemikiran filosofis, yaitu pura
dianggap sebagai simbol makrokosmos yang melambangkan tiga tingkatan dunia,
yaitu bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka.
Mata air di
Pura Tirta Empul dialirkan ke kolam pemandian yang ada di halaman luar melalui
lubang pancuran dan sisanya dialirkan ke Sungai Pakerisan. Oleh masyarakat
setempat, mata air ini diyakini menjadi sumber kekuatan magis yang dapat
memberi kehidupan dan kemakmuran serta menyucikan diri. Gelembung air tampang memancar langsung dari
tanah dan tampak jelas di air yang jernih.
Terdapat dua
buah kolam yang ada di dalam pura dan ternyata lumayan juga dalamnya, kalau
saya berdiri di dalamnya pasti basah semua. Jadilah saya hanya foto-foto dari
samping pancuran dan di pinggir kolam. Sambil celup kaki ke dalam air kolam yang
dingin. Seger banget.
Selain turis
banyak juga masrakat yang datang yang melakukan ritual mandi dan berdoa untuk
menyucikan diri yang dinamakan melukat.
Pura Tirta
Empul berbatasan dengan Istana Presiden Tampak Siring yang terlihat jelas dari
samping Pura.
Puas menikmati
kesegaran air di Pura, kami melanjutkan perjalanan untuk makan siang di Kintamani.
Perjalanan
kesana melalui jalan yang dilalui acara lari untuk amal Run To Care yang sedang
melewati rute ke arah Kintamani. Saya sempat bertemu dengan salah satu peserta
yang saya kenal yaitu Julvyano dan sempat memberi semangat.
Di daerah
Kintamani banyak sekali kafe-kafe tempat kita bisa ngopi, makan sambil melihat
pemandanagan danau Batur di kejauhan. Saya memilih Kava Kintamani Coffe and
Kitchen. Dari teras kafe terhampar pemandangan keren ke arah danau dengan
perbukitan yang kelabu (karena mendung) Walaupun mendung tetap indah. Sebelum semuanya tertutup kabut kami segera foto-foto dan tak berapa
lama hujan deras turun. Kami segera pindah ke dalam supaya tidak kehujanan.
Setelah
perut kenyang kami segera melanjutkan perjalanan ke tujuan terakhir dengan
ditemani hujan rintik-rintik.
Desa
Penglipuran
Tiga puluh
menit perjalanan dan akhirnya kami sampai. Bli Wayan menurunkan kami di pintu
masuk depan loket tiket. Walaupun masih pandemi ternyata sudah banyak turis
domestik yang memadati tempat ini. Karena masih hujan rintik saya menyewa satu
payung besar untuk berdua. Tapi seru karena payungnya warna warni bisa jadi
properti foto.
Desa
Penglipuran adalah desa tradisional di Bali yang sudah ada sejak 700 tahun yang
lalu dan merupakan hadiah dari raja Bangli. Desa Penglipuran mendapat predikat desa
terbersih ketiga di dunia menurut Green Destination Foundation, setelah Desa
Mawlynnong di India dan Giethoorn di Belanda. Masyarakat Desa Penglipuran
memegang tradisi nenek moyang yang sudah berumur ratusan tahun. Sistem pemerintahan
dhresta dan hukum tradisional awig-awig masih diterapkan di masyarakat. Kemampuan
mempertahankan tradisi ini yang membuat Desa Penglipuran menjadi unik. Mereka
menjunjung tinggi adat istiadat, nilai gotong royong kekeluargaan, kearifan
lokal yang berlandaskan konsep Tri Hitha Karana.
Dengan dipisahkan
jalan utama desa, rumah-rumah yang tersusun rapi berjejer di kiri kanan jalan. Rumah-rumah
tersebut menjual aneka macam dagangan seperti makanan tradisional serta ada yang
menjual duren. Saya yang senang duren juga ikut membelinya. Pengunjung juga
bisa mampir untuk melihat bagian dalam rumah penduduk di sini yang semuanya
terlihat bersih dan rapi. Pembagian ruangannyapun semua sama, kamar tidur,
ruang tamu, dapur, balai-balai, lumbung, dan tempat sembahyang. Bagian utama
hanya untuk tempat beribadah, tengah (kamar dan dapur) untuk beraktivitas
sehari-hari, dan bagian luar digunakan sebagai tempat menjemur baju atau serta
kandang ternak.
Setelah puas
menikmati suasana desa yang asri kami segera menuju mobil dan kembali ke hotel.
Perjalanan lancar dan menjelang malam kami sampai di hotel.
Untuk makan
malam kami pesan gofood saja supaya praktis. Puas dengan acara hari ini yang berjalan
lancar.
No comments:
Post a Comment