Saya sudah lupa kapan tepatnya awal mula saya ingin merasakan
terbang dengan Paralayang. Mungkin setelah melihat salah satu acara di TV atau membaca artikel di majalah. Dan
sepertinya ada teman dari jaman Multiply masih eksis yang senang dengan
olahraga paralayang dan menawarkan untuk mencoba tandem paralayang di
puncak. Jadi tinggal duduk manis dan tandem tersebut yang bertanggung jawab menerbangkan paralayang. Tapi karena kesibukan masing-masing ditambah jika weekend puncak selalu
macet sehingga keinginan tersebut tidak pernah terealisasi.
Sebenarnya EO yang arrange untuk terbang paralayang juga sudah
banyak. Tetapi teman yang bisa diajak paralayang itu yang susah. Kebanyakan semua takut ketinggian dan takut
jika terjadi apa-apa. Kalau soal itu memang tidak bisa dipaksakan sih, karena
kembali ke masing-masing orang. Kebetulan saja saya memang orang yang senang
merasakan petualangan dan kegiatan di alam bebas. Seperti camping, rafting,
snorkling, serta yang akhir-akhir ini saya lakukan secara rutin adalah olahraga lari serta
mencoba trail running (lari di perbukitan) yang lebih menantang.
Ajakan dari teman di grup jalan-jalan akhirnya
kesampaian juga keinginan saya untuk menikmati paralayang.
Trip terbang tandem paralayang ini diarrange oleh EO Stalagmite
Adventure ( no contact : 081383086486) dengan membayar biaya trip sebesar Rp. 445 ribu rupiah. Biaya yang dikeluarkan tersebut sudah
termasuk terbang paralayang dengan tandem, makan siang, air mineral dan
transportasi pp serta tanda masuk ke lokasi bukit paralayang di puncak. Makan pagi dan makan malam di tanggung oleh
masing-masing peserta.
Olahraga paralayang di Indonesia
berada di bawah Pordirga Layang Gantung Indonesia (PLGI) yang berada dibawah
naungan PB FASI (Federasi Aerosport Indonesia). Dan diresmikan pertama kali di
kawasan puncak pada sekitar tahun 1990an. Alat yang digunakan untuk terbang
paralayang ini adalah parasut (pastinya), harness, parasut cadangan dan helm. Alat pelengkap lainnya adalah variometer, handy
talky (HT), GPS, windmeter,
dan peta lokasi terbang. Semua peralatan tersebut dimasukkan kedalam
ransel dan total beratnya sekitar 10-15 kg, jadi cukup ringan. Seperti yang
saya rasakan juga sewaktu menggendong ransel ini. Memang tidak terlalu berat. Ransel yang saya bawa ini berisi parasut cadangan, sehingga jika ada keadaan darurat parasut itulah yang akan dipakai.
Akhirnya, hari yang ditunggu tiba,
hari sabtu pagi, jam 6 kurang 15 menit, saya sudah sampai di pelataran depan
Dunkin Donut Plaza Semanggi. Beruntung tempat pertemuan untuk keberangkatan
dekat dengan rumah saya sehingga bisa cepat sampai. Setelah semua peserta
berkumpul karena disertai ancaman jika telat akan ditinggal, dua mobil elf yang
membawa semua peserta total 18 orang bergerak meninggalkan jalan di samping
plaza Semanggi sekitar jam 6.05 pagi. Hampir seluruh peserta adalah perempuan dan hanya 1 orang peserta laki-laki. Sepertinya, lebih banyak perempuan yang berjiwa petualang nih. hehe..
Saya meneruskan tidur yang tertunda
dan baru bangun ketika mobil sudah berada di kawasan puncak. Sepertinya tadi
sempat macet ketika keluar tol menuju gadog tetapi setelah itu cukup lancar dan
kita berhenti di tempat makan di area sekitar botol kecap. Mobil berhenti dan
kami semua keluar untuk beristirahat dan sarapan. Kesempatan untuk saya dan
teman-teman satu rombongan untuk berkenalan sambil makan indomie rebus dengan
telur dan cabai rawit. Indomie ternikmat karena ditambah pemandangan kebun teh
dan pegunungan sejauh mata memandang.
Setelah semua selesai makan,
perjalanan diteruskan menuju Bukit Naringgul atau lebih dikenal dengan puncak
paralayang. Ternyata lokasinya satu kelokan setelah mesjid At’awun dan terletak
di sebelah kanan jalan. Melalui jalan kecil sekitar 500 meter dan sampailah
kami di parkiran. Setelah mendaki anak tangga sekitar 200 meter akhirnya kami
sampai di pelataran luas tempat awal kami akan melakukan kegiatan paralayang. Di sebelah kiri tangga terdapat warung yang
menjajakan aneka makanan dan minuman. Jadi jika dari Jakarta tidak sempat sarapan bisa sarapan di sini saja.
Di pelataran luas di atas puncak
paralayang tersebut terdapat shelter tempat pendaftaran peserta yang ingin
tandem paralayang. Dan ternyata cukup banyak juga yang berminat.
Kebanyakan peminat adalah orang-orang arab yang sepertinya cukup mendominasi
selain pendatang lain yang hanya melihat-lihat pemandangan. Pemandangan
dari puncak bukit Paralayang memang sangat indah, sejauh mata memandang hanya
hijaunya kawasan puncak serta deretan pegunungan dan disebelah kanan tampak
mesjid Ata'awun yang megah.
Tak berapa lama setelah semua peserta berkumpul dan puas foto-foto,
kami semua mengikuti briefing yang diberikan oleh mas Gendon Subandono, salah
satu senior dan perintis olahraga paralayang dan merupakan salah satu tandem
kami nanti. Beliau menjelaskan mengenai prosedur yang harus diikuti oleh para
peserta tandem paralayang siang itu dan info-info mengenai paralayang itu
sendiri.
Paralayang bisa diikuti oleh siapa
saja dengan range usia antara 14 s/d 60 tahun dan dengan syarat khusus : sehat
jasmani dan rohani, tidak mengidap penyakit jantung, dan epilepsi. Peserta paralayang yang berumur kurang dari 18 tahun harus mendapat restu dan ijin dari
orangtua/wali.
Untuk mengangkat parasut supaya
dapat terbang sangat dibutuhkan angin yang berhembus. Ada 2 macam angin yang
dapat digunakan yaitu angin naik yang menabrak lereng (dynamic lift) dan angin
naik yang disebabkan karena thermal (thermal lift). Jika angin dirasa masih
kurang kuat maka paralayang tidak dapat dilakukan.
Oiya, sebelum melakukan kegiatan, kami harus mengisi formulir pernyataan bahwa segala akibat yang
terjadi akan menjadi tanggung jawab peserta.
Dan untuk peserta dibawah 18 tahun diperlukan tanda tangan dari orang
tua / wali.
Sambil menunggu angin bagus, saya
dan teman-teman duduk-duduk saja sambil menikmati pemandangan. Saya yang takut
kepanasan duduk di dekat bagian pendaftaran bersama opa David dan mas Gendon
yang sibuk menerima pendaftaran dan kak Ondo Sirait yang juga ikutan ngobrol.
Nyesel juga sih nggak bawa bacaan, mana BB dan HP batterainya sudah hampir habis dan
power bank sudah habis. Terpaksa akhirnya saya ke salah satu warung bernama
warung Paralayang dan ternyata mas Gendon dan opa David sudah berada di sana. Karena listrik mati, akhirnya opa David yang baik hati
meminjamkan powerbanknya yang besar kepada saya. Terima kasih banyak, ya, Opa.
Opa David juga termasuk yang paling senior di olahraga paralayang ini.
Jadi sambil menunggu HP saya di charge, saya ikutan saja duduk disana, sambil mendengarkan obrolan para senior paralayang tersebut. Karena
sebentar lagi tanggal 23-25 Mei akan ada kejuaraan paralayang sepertinya mereka
banyak membahas mengenai ketentuan juri, peserta lomba dan lain-lain. Ternyata
Indonesia termasuk disegani dalam hal ketepatan terbang diantara negara-negara
lain peserta kejuaraan paralayang.
Setelah makan siang dengan lauk
ayam goreng, tumis sayur dan tempe goreng tepung yang nikmat, akhirnya saya
mendengar jika kondisi angin sudah cukup bagus untuk memulai kegiatan paralayang. Asyiik.
Akhirnya dimulailah kesibukan untuk
persiapan kegiatan paralayang, dari menata parasut dan persiapan untuk penerjun
yang akan ditandem sesuai giliran yang telah ditentukan. Dari kelompok saya
sudah dipilih 3 orang yang akan duluan berparalayang-ria. Untuk kelompok saya
dengan peserta total sekitar 18 orang akan ditandem oleh 3 orang secara
bergiliran. Tetapi tidak bisa berturut-turut karena harus menunggu ke 3 orang
tandem tersebut naik lagi ke atas bukit paralayang dari lokasi pendaratan di
bawah dengan menggunakan angkot.
Saya mendapat giliran ke 4, jadi
selama menunggu mas Get (panggilannya mas Gendon) naik ke atas, perasaan saya
campur aduk, antara excited dan deg-degan bercampur sakit perut. Sambil menunggu,
saya memperhatikan langkah-langkah yang harus dilalui ketika akan memulai take
off paralayang. Peserta hanya diharuskan berlari sampai ke bibir bukit
sedangkan tandem yang menyiapkan parasut sampai terkembang dengan posisi
membelakangi peserta. Ketika parasut sudah mengembang, tandem akan berbalik
arah dan berlari bersama peserta untuk akhirnya melayang bebas.
Ketika giliran saya terbang, saya
sudah pasrah. Mas Get tidak memberikan instruksi apa-apa jadi saya hanya menunggu
sampai ada info selanjutnya dari mas Get dan dalam hitungan detik, beliau menyambungkan
harnes ke ransel, lalu saya ditarik untuk lari dan wuuus.. tiba-tiba saya sudah
terbang di atas kebun teh dan sejauh mata memandang adalah kebun teh di pegunungan
puncak yang berselimutkan kabut tipis. Saya segera merekam pemandangan tersebut
dengan bb yang dari tadi saya pegang sekaligus berselfie ria. Kapan lagi bisa
foto selfie dari ketinggian 1350 meter di atas permukaan laut, melayang-layang
di bawa angin dengan bebas. Sensasi melayang-layang di udara tersebut benar-benar amazing.
Sayang sekali, siang itu angin
sepertinya tidak terlalu bagus sehingga parasut tidak bisa melayang terlalu
jauh, sehingga hanya dalam sekitar 5 menitan, setelah berputar di atas tempat
pemancingan, berbelok dan akhirnya mendarat dengan mulus di lapangan di tengah
kebun teh. Para adik-adik yang membantu membereskan parasut sudah sigap melipat
parasut untuk dibawa kembali ke atas. Ah, rasanya masih kurang lama, masih
kurang puas menikmati pemandangan puncak dari atas...Kapan ya, bisa balik lagi.
Di tempat landing |
Yang jelas, kalau misalnya ingin ber paralayang lagi, sekarang saya sudah tau lokasinya dan bisa langsung datang, setelah
menghubungi mas Get di 0818146705 untuk janjian lebih dulu. Biaya untuk tandem
paralayang bervariasi sekitar Rp. 350 ribu dan bisa lebih murah jika kelompok
sampai 5 orang.
Jika berminat untuk belajar
paralayang sendiri bisa ikut pelatihan dengan biaya sekitar Rp. 7 juta dengan
lama pelatihan berkisar 40 jam. Waktunya fleksibel bisa dilambil hari apa saja
tergantung peserta. Semua info bisa ditanyakan langsung ke mas Get saja, secara
dia pelopor juga dari klub paralayang bernama Merapi (Klub Mega Raya Paralayang
Indonesia) yang sudah berdiri sejak tahun 1990. Untuk lebih jelasnya bisa
mengunjungi blog mas Gendon Subandono
Setelah landing, saya tidak
langsung menuju bukit Paralayang dan masih menunggu teman-teman lain yang
mendapat giliran berikutnya. Waktunya tidak bisa diprediksi, karena tiba-tiba
angin tidak ada sehingga jarak antara penerjun satu dengan yang lain bisa agak
lama. Memang kesabaran harus diuji jika ingin berparalayang ria. Sabar menunggu
angin dan cuaca yang bagus. Dan harus siap-siap kecewa jika batal terbang
karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan.
Puas foto-foto, saya dan dua teman
lain kembali ke lokasi awal dengan menggunakan angkot dan ketika sampai di atas,
wah, ternyata di lokasi sudah lebih ramai dari pada tadi siang. Walaupun cuaca
malah agak kurang baik karena berkabut tebal. Hampir saja salah satu
teman dari kelompok kami tidak bisa terbang, walaupun akhirnya bisa diusahakan
dan waktunya menjadi sangat singkat.
Sekitar jam 17.30 kami
semua kembali ke mobil untuk pulang ke Jakarta sekalian menjemput
beberapa teman yang masih berada di lokasi landing. Singgah untuk makan malam
di Cimory resto dan akhirnya sampai kembali di titik keberangkatan awal di
Plaza Semanggi jam 21.00 dengan selamat.
Ah, senangnya ahirnya bisa merasakan
paralayang, pengalaman yang tidak terlupakan. Pastinya sih, ingin mencoba lagi
di tempat lain.
kak nanya dong, buat bb ga ada batas yah ?
ReplyDeleteHalo Mbak Reni, sepertinya ada batas maksimalnya tapi saya kurang tahu berapanya. Maaf mbak.
Delete