Pagi harinya saya baru bertemu teman-teman satu dorm saya. Ada dua
orang bule asal Jerman dan satu orang asia. Saya tidak bisa mengetahui dari
Asia mana, mungkin Bangkok atau Philipina. Setelah mandi dan beres-beres saya
segera berangkat. Tidak lupa membawa beberapa peta karena tujuan saya hari ini
adalah Grand Palace beserta kuil-kuil disekitarnya. Hostel saya terletak di jalan raya yang cukup
ramai dengan beberapa bangunan khas Thailand, sepertinya sih gedung sekolah
kalau saya lihat di Google Map.
Dengan Google map pula saya menuju ke Democracy
Monument yang terletak tidak jauh dari hostel Sebelumnya saya mampir dahulu ke
minimarket , membeli roti untuk sarapan. Setelah berjalan kurang lebih 200
meter sampailah saya di sebuah perempatan jalan dengan Democracy Monument di tengahnya.
Democracy
Monument terletak di Ratchadamnoen Road,
adalah monument yang mencerminkan demokrasi dan kebebasan. Marshall Field Plaek Pibulsonggram ditugaskan
untuk memperingati kudeta militer yang pernah terjadi pada bulan Juni tahun
1932. Aksi tersebut adalah penyebab konstitusi demokrasi di Thailand timbul
pertama kali dan memiliki kekuasaan yang mutlak. Monumen ini juga didirikan agar Thailand
memiliki bangunan yang setara dengan Arc de Triomphe di Paris yang merupakan lambang
kebebasan dan demokrasi. Bangunan ini
pertama kali dibangun pada tahun 1939 dan sejak itu lokasi berdirinya monumen
digunakanan tempat berkumpulnya para demonstran pro-demokrasi yang pernah
terjadi pada tahun 1973, 1976 dan 1992.
Di sini juga terdapat plakat Nol kilometer yang saya temui
terdapat di pinggir jalan. Saat itu saya
sedang asyik menikmati keramaian kota Bangkok dan tiba-tiba menemukan tulisan
mengenai Titik Nol Km ini.
Di jalan yang baru saya lewati tadi ada sebuah sekolah, sehingga
banyak anak sekolah yang datang diantar mobil. Ada dua orang polisi tampak
mengatur lalu lintas.
Jalan raya dimana terletak Democracy Monument ini merupakan jalan
raya utama, sehingga cukup ramai. Walaupun ramai tetapi tidak sampai terjadi
macet yang berkepanjangan.
Saya bertanya kepada polisi yang bertugas sambil memperlihatkan
peta Bangkok yang saya bawa. Saya hanya memastikan lokasi Grand Palace dan
lokasi halte terdekat karena saya ingin naik bus kesana.
Ternyata polisi tersebut kurang mengerti bahasa Inggris sehingga
memanggil temannya yang tampak lebih tua. Mungkin juga bosnya. Polisi yang lebih tua ini memberi petunjuk
arah menuju Grand Palace. Bisa jalan
kaki katanya, karena sebenarnya tidak terlalu jauh. Kalau ingin naik bis bisa
ke halte yang letaknya di seberang.
Sip lah pak. Sepertinya saya mau naik bis saja ke sana, karena
Bangkok pagi ini panasss sekali. Saya
tidak mau meleleh begitu sampai di Grand Palace.
Setelah menyeberang, saya duduk di tempat duduk yang banyak
terdapat di pedestrian. Lumayan adem
karena banyak pohon. Saya duduk sambil mulai makan bekal untuk sarapan yang
saya beli di minimarket tadi. Saya membeli susu Frisian Flag rasa coconut yang
saat itu belum saya temui di Jakarta. Rasanya enak banget nih susunya.
Belakangan setelah sampai di Jakarta ternyata susu ini sudah ada di Alfamart. Hehe..
Ini adalah kegiatan favorit saya jika traveling. Duduk mengamati kegiatan
penduduk lokal. Karena saya duduk dekat
dengan halte bus, lokasi tersebut cukup ramai dengan orang-orang yang hendak
beraktivitas. Bus-bus pun datang silih
berganti dengan nomor bus yang tertera di depannya tetapi trayeknya memakai
bahasa Thai. Bus di Bangkok termasuk bus
tua tetapi bersih. Penumpangnya juga tidak terlalu banyak sampe berjejalan.
Jadi cukup nyaman. Ada bus yang ber ac dan tidak.
Di tiap halte ada daftar bus beserta jurusannya. Jika tidak kita
bisa cek dulu di google map kita akan pergi kemana nanti akan terlihat no bis
menuju tujuan yang dimaksud.
Setelah sarapan saya habis, saya menunggu bis menuju Grand Palace
dan ketika datang saya langsung naik dan beruntung saya mendapat tempat duduk. Saya mendapat tempat duduk di pinggir jendela
sehingga bias puas melihat pemandangan. Bis yang saya naiki tidak ber-ac,
tetapi mempunyai jendela besar tanpa kaca. Atau kacanya terbuka sehingga tidak
terasa panas karena hembusan angin dari luar.
Sewaktu sedang berhenti di lampu
merah, ternyata tepat bersebelahan dengan sebuah tugu atau monumen, jadi saya
langsung memotretnya dari jendela bus.
*Selama saya ber solo traveling di Bangkok, sepertinya tidak ada
hal yang perlu dikhawatirkan. Bangkok aman untuk para traveler wanita. Hanya
untuk masalah bahasa perlu mencari orang yang tepat yang bisa bahasa
Inggris. Selain itu kita harus
mengumpulkan informasi yang lebih lengkap mengenai transportasi dan selalu sedia peta yang jelas dan lengkap.
Akhirnya bus mulai mendekati kompleks Grand Palace, hal ini
terlihat dari bagian atas bangunan yang mulai terlihat dari kejauhan. Penumpang
di sebelah saya,seorang bapak tua mulai berdoa ketika bus melewati samping
Grand Palace. Beliau menunduk dengan khidmat. Raja Thailand memang sangat
dihormati rakyatnya sehingga kejadian tersebut adalah hal yang wajar. Wujud kecintaan rakyat terhadap pemimpinnya.
Saya tidak sempat melihat apakah penumpang bus yang lain melakukan hal yang
sama.
Saya turun di halte yang paling dekat dengan pintu masuk Grand
Palace. Saya memang sudah berencana tidak masuk ke sini karena tiketnya yang
mahal. Misi liburan saya kali ini hanya untuk menikmati kota Bangkok dan tidak
memasukkan objek wisata berbayar ke dalam itinerary.
Serombongan turis baru saja datang dengan bus besar dan memenuhi
pintu masuk Grand Palace. Saya menikmati semua itu dari pinggir lapangan Sanam
Luang yang luas. Setelah berselfi ria dengan latar Grand Palace, lumayan masih
kelihatan sedikit atap bangunan-bangunan di dalam kompleks, saya juga berjalan
ke seberang Grand Palace dan menikmati keindahan Thawornwatthu Building yang
berwarma merah maroon. Bangunan tua yang dibangun pada jaman Raja Rama dan saat
ini digunakan sebagai perpustakaan.
Pagi itu Bangkok sangat panas, jadi saya memutuskan untuk segera
menuju objek wisata berikutnya yaitu Wat Po. Saya berjalan menyusuri trotoar bangunan
yang digunakan untuk toko cenderamata dan restoran kecil. Diantara toko dan
restoran tersebut terdapat sebuah kantor pos. Saya masuk kedalam untuk
melihat-lihat. Sempat menanyakan harga kartu pos yang niatnya mau dikirim ke
rumah. Tapi batal karena saya tidak yakin dengan harganya.
Setelah bertanya beberapa kali akhirnya sampailah saya di Wat Po.
Kuil yang terkenal dengan Sleeping Budha raksasa yang berwarna emas.
Sebelum tiba di sana saya melewati pasar yang sepertinya lebih
menarik karena ada penjual ketan mangga dan ketan durian. Karena saat itu udara
panas saya lebih tertarik untuk membeli minuman thai ice tea yang dijual oleh
pedagang kaki lima depan kuil. Murah
meriah dan dapet segelas besar thai ice coffee di dalam gelas platik dengan
tali. Saya akhirnya pesen kopi aja deh biar nggak ngantuk.
Saya masuk ke dalam kuil dan duduk di kursi yang terdapat di sana.
Pengunjung tidak terlalu banyak. Saya cukup puas dengan memotret ukiran dan
patung yang terdapat di pintu gerbang Wat Po. Dari jendela besar di belakang
saya duduk terlihat kaki patung Budha yang keemasan. Yah, cukuplah lihat
kakinya doang, yang penting udah lihat kan.
Jadi saya bergegas menuju ke dermaga penyeberangan yang terletak di belakang
pasar yang saya lewati tadi.
Bagian dalam pasar bersih dan terdapat kios-kios yang berjualan
baju dan cendera mata serta makanan. Rencana mau kembali lagi nanti sore untuk
membeli ketan mangga.
Sampai di dermaga, saya memutuskan untuk tidak menyeberang menuju
Wat Arun. Sepertinya Wat Arun sedang direnovasi karena dari jauh tampak
bambu-bambu yang bersilangan menutupi kuil tersebut. Ditambah panas yang
menyengat saya jadi malas kesana dan memilih untuk duduk-duduk saja di kursi di
tepi dermaga sambil melihat orang lalu lalang.
Sebelah saya ada seorang cowok thai imut yang akhirnya saya ajak
ngobrol karena bahasa inggrisnya cukup lancar. Saya menanyakan lokasi Pratunam
Market, tetapi dia tidak tau dan menyarankan saya untuk ke Siam Shopping Mall
karena beberapa mall lain letaknya tidak jauh dari sana. Dari dermaga Tha Tien kami
akan naik kapal menuju dermaga Sathorn (Central Pier) yang dekat dengan stasiun BTS Saphan Taksin untuk
menuju ke BTS Siam. Ah senangnya ada yang bisa membantu. Lumayan juga ada cowok
itu jadi saya bisa difoto dengan latar belakang Wat Arun. Sayang nggak sempat
kenalan dan tukeran no telpon. Hehe…
Padahal kan bisa ditanya kalo saya bingung lagi.
Selama saya menunggu di dermaga tersebut, saya sempat bertemu
dengan serombongan turis asal Indonesia yang menyewa kapal khusus.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya cowok itu memberi tanda
untuk bersiap-siap naik ke atas kapal yang mendekat. Peluit panjang dibunyikan
oleh petugas kapal tanda kapal merapat dan penumpang akan turun dan naik.
Saya segera naik ke kapal yang cukup penuh karena ada penumpang
yang berdiri. Tetapi saya cukup beruntung karena mendapat tempat duduk. Waktu mau bayar eh petugas kapal yang jadi
kondektur nggak melewati area saya duduk, jadilah saya nggak bayar. Mungkin udah dibayarin kali sama cowok itu.
GR.
Perjalanan naik kapal di Bangkok adalah pengalaman yang sangat
menyenangkan. Udara panas kota Bangkok
tidak terasa karena angin kencang menerpa para penumpang. Percikan air kadang
terasa jika ombak di sungai agak besar. Pemandangan di pinggir sungai juga
sangat menarik, gedung perkantoran, hotel, shopping mall, rumah-rumah besar dan kecil serta gambar Raja
dan Ratu Thailand berselang seling. Beberapa kali kami berpapasan dengan kapal
lain yang menuju arah sebaliknya.
Yang paling seru sih jika kapal hendak merapat, bunyi peluit yang
khas serta ocehan petugas kapal dalam bahasa Thai yang khas –bunyinya jadi
seperti merepet gitu, membuat saya senyum-senyum sendiri. Mungkin artinya, para
penumpang harap hati-hati bla bla bla..
Akhirnya sampailah kami di dermaga yang mempunyai interchange
dengan stasiun BTS. Saya mengintil di belakang cowok itu dan berpisah di loket
pembelian tiket. Supaya praktis saya langsung membeli tiket di loket saja dari
pada di mesin yang mesti pencet-pencet. Jadi tinggal menyebutkan stasiun BTS
yang dituju petugas memberikan tiket berupa kartu plastik yang tinggal di tap
dan ketika tiba di stasiun tujuan dimasukkan lagi ke mesin untuk membuka pintu
keluar.
Kereta layang di Bangkok mirip dengan yang di Singapore. Dari
jendela kereta saya bisa melihat pemandangan kota Bangkok dengan gedung-gedung
serta lalu lintas yang padat. Mirip dengan suasana kota Jakarta.
Akhirnya saya sampai di stasiun Siam. Saya turun dan segera
memasuki mall yang letaknya bersebelahan dengan stasiun BTS tersebut. Dinginnya
udara AC segera menyambut. Karena sudah lapar saya segera mencari tempat makan
dan yang paling cepat dan praktis apalagi kalo bukan KFC.
Saya memesan menu standard nasi dan ayam serta ada menu yang lain
yaitu pie susu sebagai dessert. Setelah kenyang saya melanjutkan berkeliling
mall yang saya lupa namanya… pokoknya di sebelah Siam Square. Mallnya cukup besar dan saya lihat ada Hello
Kitty shop di mall itu ketika saya membaca directorynya, tetapi karena saya
bingung tokonya nggak ketemu. Ya sudahlah. Saya juga mencari Nestle Thai Tea di
Supermarket yang ada di mall itu tetapi tidak ada yang merk Nestle. Adanya merk
lain yang lebih mahal.
Akhirnya, karena sudah berada di tengah kota saya memutuskan untuk
sekalian berbelanja oleh-oleh di Pratunam dan membeli Nestle Thai tea favorit.
Saya menuju ke bagian informasi dan menanyakan transportasi menuju ke Pratunam
Market. Menurut si mbak yang langsing
dan cantik itu Pratunam bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Wah, bagus deh kalo
gitu. Si mbak menggambar peta menuju kesana di selembar kertas sehingga lebih
mudah dimengerti. Baik banget nih mbaknya.
Setelah berjalan kaki kira-kira 1 kilometer sampailah saya di
Pratunam. Berbagai macam barang khas Thailand banyak terdapat disana, mulai
dari kaos, gantungan kunci, tempelan kulkas, celana, dan masih banyak
lagi. Yang saya suka adalah kaos dengan
bahan halus berwarna putih dengan gambar khas Thailand. Tapi biarpun suka saya
menahan diri untuk nggak beli. Hehe..
Saya membeli kaos untuk oleh-oleh di sebuah toko yang agak masuk
ke dalam karena lebih murah dari pada kios yang terletak di depan. Saya
bertanya kepada ibu yang jual dimana bisa membeli Thai tea sachet dan dijawab
kalau Thai Tea itu dijual di Supermarket Big C seberang Pratunam. Akhirnya ada juga titik terang untuk mendapatkan
Thai Tea favorit.
Di tengah cuaca yang sangat panas saya menyeberang kembali ke Mall
Big C dimana terdapat Supermarket Big C
yang cukup besar. Dan akhirnya
saya temukan juga Nestea Thai Tea dan langsung saya beli 3 bungkus.
Lumayan masuk di mall bisa ngadem sebentar dan setelah agak
segeran saya memutuskan untuk pulang hostel untuk beristirahat sejenak dan
meletakkan barang-barang belanjaan yang cukup berat.
Saya memutuskan pulang menggunakan kapal kecil yang menghubungkan
area Pratunam dengan area Khaosan Road.
Info mengenai kapal ini memang sudah saya temukan di sebuah website dan
sudah saya catat juga. Tetapi saya lupa karena memang tidak membuat itinerary
alias let it flow, mengikuti apa yang terjadi pada hari itu.
Sungai kecil yang menjadi trasportasi di dalam kota ini bernama Saen Saep, merupakan kanal yang
dibangun sejak jaman pemerintahan Raja Rama III, sewaktu ada konflik antara
Siam dengan Annam mengenai Kambodia. Sungai kecil ini digunakan sebagai sarana
transportasi bagi tentara yang saat itu sedang berperang. Kanal ini dibangun tahun
1837 dan selesai 3 tahun kemudian.
Kapal yang beroperasi di sungai kecil sepanjang 18km ini berjumlah
sekitar 100 buah dengan 40 sampai 50 tempat duduk. Tempat duduknya sendiri
berupa tempat duduk kayu yang berjajar.
Jam operasinya adalah 5.30 pagi –
8.30 malam saat hari kerja dan jam 7
malam saat weekend. Harga karcis antara 8-20 baht yang dibeli sebelum naik ke
kapal.
Naik kapal ini seru banget. Karena kapal kecil dan rendah maka ada
penutup dari plastik berwarna oranye yang dinaikkan oleh petugas untuk
melindungi penumpang dari cipratan air
sungai. Tapi jadinya pandangan kita
terbatas untuk melihat pemandangan sekeliling kapal.
Kapal ini juga berhenti di beberapa dermaga dan dalam waktu
singkat kapal telah sampai di dermaga Panfa Leelard yang menjadi tujuan akhir
kapal ini.
Setelah naik ke jalan raya saya berjalan sambil mengira-ngira saja
jalan ini tembus kemana dan akhirnya saya mengenali jalan raya tersebut sebagai
jalan raya yang tembus ke Democracy Monument.
Oh, tembusnya disini toh, kata saya dalam hati. Rasanya lega dan
senang karena tinggal jalan kaki sedikit saja saya sampai ke hostel. Walaupun tetap
dalam cuaca panas terik.
Dalam perjalanan menuju hostel
saya melewati bangunan dengan arsitektur khas istana di Thailand. Bangunan tersebut adalah Royal Pavilion
Mahajetsadabadin, yang merupakan pavilion bangunan untuk Raja ketika
meninggalkan istana untuk menemui para tamunya.
Bangunan ini dibangun pada tahun 1989.
Saya juga foto di depan bangunan yang ada di sebelah Royal Pavilion
ini yang ternyata merupakan bangunan Jee Tek Lee Bureau of Monk yang merupakan
kantor untuk para biarawan.
Karena cuaca yang super duper panas saya tidak terlalu lama
foto-foto di sana dan segera melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan saya sempat
duduk beristirahat di bangku yang berada di trotoar sambil minum dan menikmati pemandangan
sekitar. Tidak banyak orang yang berkeliaran di jalan pada jam 3 sore dengan
panas yang masih membara.
Saya segera melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai juga di
hostel dan setelah naik ke lantai 3 taraaa… di kamar juga panas karena acnya
mati dan diganti dengan kipas angin besar. Jendela kamar juga dibuka lebar.
Tetapi udara panas tetap terasa. 2 orang
turis bule cewek yang sedang ngobrol di sana juga berkata kalau hari itu memang panas.
*Saya memang tidak memperhatikan soal kebijakan mematikan ac dari
pagi sampai sore dan diganti kipas angin karena saya beranggapan tidak akan
kembali ke hostel sebelum malam tiba. Jadi ya terpaksalah saya menerima hal
tersebut dengan lapang dada, toh cuma sebentar dan hanya sehari ini. Kesempatan
kembali ke hostel juga saya manfaatkan untuk update berita-berita di sosmed
dengan wifi hostel. Untunglah wifi di sini kencang dan lancar jadi semua web
dan whatsapp bisa terbuka dengan cepat.
Setelah puas update berita dan foto, saya memutuskan untuk jalan
lagi. Saya ingin melihat senja di tepi sungai Chao Phraya dengan duduk-duduk di
dermaga Phra Atit yang berada di depan Wat Arun. Sekalian beli ketan mangga disana.
Setelah update lokasi di Google Map dan save secara offline di HP,
saya tinggal mengikuti jalan saja untuk menuju ke dermaga Phra Atit. Saya berjalan melewati keramaian Khao San
Road mengikuti peta yang tertera di google map. Tapi tetap saja saya nyasar dan
akhirnya bertanya kepada orang yang saya temui di jalan. Saya memutuskan untuk
mampir di salah satu tempat massage yang
banyak terdapat di sepanjang jalan di area Khao San Road. Tempat massage yang saya pilih ini menawarkan
harga yang lebih murah dibandingkan yang lain. Mungkin karena lokasinya yang
agak jauh dari keramaian Khao San.
Saya memilh paket 1 jam massage saja, seharga 100 Bath, tapi
karena saya pelanggan pertama yang dipijat saya mendapat extra 10 menit. Ih
lumayan banget. Pijatan si ibu cukup
enak, pegal-pegal di kaki saya menjadi berkurang. Pengen banget bisa ngobrol tapi sayang si ibu
nggak bisa bahasa Inggris. Jadi hanya ngobrol seadanya aja deh.
Selesai pijat saya bergegas meneruskan perjalanan menuju dermaga
Phra Atit dan menunggu kapal yang
membawa saya ke dermga yang terletak di seberang Wat Arun. Rencananya ingin
melihat Wat Arun di waktu malam. Suasana
sekitar sungai Chao Phraya sewaktu senja sangat indah.
Pemandangan
menjelang senja di sepanjang Chao Phraya River membuat saya betah berlama-lama
duduk di tepian sungai. Lampu-lampu di kapal mulai dinyalakan sehingga menambah
syahdu suasana sore itu.
Saya duduk agak
lama di dermaga Tha Tien, menunggu lampu di Wat Arun menyala. Tetapi apa daya
ternyata lampu disana belum menyala juga. Mungkin karena sedang dalam tahap
renovasi. Karena takut kemalaman, akhirnya saya naik kapal berikut untuk
kembali ke dermaga Phra Atit.
Sambil menunggu lampu Wat Arun menyala saya mampir di pasar membeli ketan mangga dan penjualnya yang menanyakan saya berasal dari mana tampaknya senang tau saya berasal dari Indonesia.
Ketika saya
menginjakkan kaki di dermaga Phra Atit, pemandangan jembatan Rama VIII langsung
tampak di depan mata. Jembatan tersebut tampak gagah di tengah gelapnya malam.
Saya mampir untuk melihat-lihat suasana taman yang ada di sana. Tampak masih banyak orang melakukan kegiatan. Ada seorang ibu yang sedang senam sendirian. Di bagian lain juga tampak beberapa orang yang sepertinya habis olahraga. Ada juga beberapa orang yang baru pulang kantor.
Saya mampir untuk melihat-lihat suasana taman yang ada di sana. Tampak masih banyak orang melakukan kegiatan. Ada seorang ibu yang sedang senam sendirian. Di bagian lain juga tampak beberapa orang yang sepertinya habis olahraga. Ada juga beberapa orang yang baru pulang kantor.
Di taman
yang bernama : Santi Chai Prakan Public Park terdapat bangunan benteng
yang bernama Pom Phra Sumen. Benteng terebut tampak bersinar di
tengah gelapnya malam karena lampu yang dipasang disana cukup banyak. Tapi saya
hanya mem foto bangunan tersebut dari jauh saja. Di dekat benteng
tersebut juga ada bangunan berbentuk rumah yang cukup mewah dengan ornamen dan
ukiran yang cantik.
Setelah puas
menikmati taman, saya berjalan kaki pulang ke hostel. Saya membeli makan malam
di dekat area Khao San yang ramai, di tempat makan yang sama seperti malam
sebelumnya, karena sudah familiar dan letaknya juga tidak terlalu jauh dari
hostel.
Beruntung sekali ketika
saya sampai di hostel hujan turun dengan lebatnya. AC sudah nyala kembali dan
saya bisa tidur nyenyak setelah menyiapkan baju untuk lari besok. Iya, besok
saya akan berlari di Lumpini Park.
No comments:
Post a Comment