Sekitar jam 7 pagi kami semua sudah siap berangkat untuk
menikmati sarapan di Ketupat Sayur Lintau 4, di Jl Adi Sucipto, Pekanbaru. Rumah makan kecil ini memang khusus
menyediakan makanan untuk sarapan pagi khas melayu. Selain lontong sayur, ada
pula lontong sop dan bubur kampiun serta lopis. Bumbu pada lontong sayurnya
memang khas karena kuahnya terasa kental
dan gurih serta cabai hijau di atasnya membuat hidangan ini menjadi lebih nendang. Sedangkan lontong sop adalah potongan ketupat
dengan kuah sop yang segar. Mungkin
untuk pilihan bagi orang yang tidak ingin makan dengan kuah santan yang berat.
Sedangkan untuk bubur kampiunnya enak karena tidak terlalu manis dan lopisnya
agak berbeda karena menggunakan kuah santan kental dengan gula cair, sehingga
tidak terlalu manis.
Seusai sarapan kami segera berangkat menuju kabupaten
Siak mengunjungi Istana Siak Sri Indrapura.
Untuk mempersingkat perjalanan kami memutuskan melewati kompleks Chevron. Sebelum masuk ke dalam kompleks ini kami harus melewati penjagaan yang super ketat. Selain di catat data-data pengemudi dan no polisi di kartu yang diberikan juga ditulis jam masuknya. Kecepatan mobil harus konstan dan tidak boleh terlalu cepat karena nanti akan terlihat di pintu keluar. Apabila melebihi range yang sudah ditentukan akan ada denda karena mengendarai mobil melebihi batas kecepatan.
Untuk mempersingkat perjalanan kami memutuskan melewati kompleks Chevron. Sebelum masuk ke dalam kompleks ini kami harus melewati penjagaan yang super ketat. Selain di catat data-data pengemudi dan no polisi di kartu yang diberikan juga ditulis jam masuknya. Kecepatan mobil harus konstan dan tidak boleh terlalu cepat karena nanti akan terlihat di pintu keluar. Apabila melebihi range yang sudah ditentukan akan ada denda karena mengendarai mobil melebihi batas kecepatan.
Kompleks Chevron yang dilewati tampak sangat rapi dan
teratur khas kompleks perumahan di Amerika tempat kantor Chevron berada.
Jalananannya pun sangat mulus dimana mobil kantor Chevron yang melintas dipacu
dengan kecepatan rendah membuat kami beberapa kali harus mendahuluinya. Setelah melalui kompleks tersebut jalanan
baru mulai menampakkan aslinya, berlubang disana sini. Sedangkan pemandangan
sepanjang jalan tidak terlampau menarik. Selain panas dan gersang, yang paling
sering tampak adalah jajaran perkebunan sawit dan beberapa rumah penduduk serta
warung. Saya memilih untuk tidur saja.
Kami turun di jembatan Maredan yang melintasi sungai Siak
untuk berfoto dan melanjutkan perjalanan lagi karena setelah jembatan tersebut
Siak sudah dekat. Di tengah kota ada jembatan lagi yang lebih besar dan megah.
Nanti rencana akan foto-foto lagi disana.
Istana Siak Sri Indrapura
Memasuki kabupaten
Siak, tidak terlampau sulit menemukan lokasi istana kerajaan Siak Sri Indrapura
karena petunjuk jalan lumayan jelas. Tetapi ketika sampai di depan istana
tersebut tidak ada tulisan bahwa bangunan ini adalah Istana Siak, karena bangunannya
walaupun megah tetapi terlihat sederhana.
Setelah memarkir mobil di tempat yang teduh di taman depan
istana, kami segera masuk ke dalam setelah membayar tiket masuk. Sebelum memasuki istana alas kaki harus
dilepas. Isi dari istana ini cukup lengkap
diantaranya adalah : kursi singgasana sultan yang dilapisi emas, payung
kerajaan, senjata dan meriam yang dipakai kerjaan berperang melawan
Belanda, replika mahkota kerajaan Siak,
kursi dan meja yang dipergunakan untuk pertemuan kerajaan serta dilengkapi
dengan patung orang-orangnya yang sedang
mengadakan pertemuan, lampu kristal.
Yang paling menarik adalah adalah cermin peninggalan permaisuri Sultan
yang bernama cermin Ratu Agung, dimana jika sering bercermin di sana konon akan
membuat awet muda. Ada pula alat pemutar
musik kuno yang bernama Komet buatan Jerman, dimana di dunia ini hanya ada 2
dan yang berda di kerajaan Siak ini yang bisa dibunyikan. Beruntung ketika pada
jam 12 siang alat musik tersebut dibunyikan kami bisa mendengarnya. Musik Bethoven yang diperdengarkan masih
terdengar jernih dan jelas, membuat mengantuk di tengah cuaca panas dan gerah
di dalam istana.
Setelah usai menjelajahi lantai 1 kami beralih ke lantai 2
dengan menaiki tangga melingkar yang pas banget buat berfoto ria. Di lantai 2 selain banyak foto-foto seperti
di lantai 1, juga disimpan peralatan makan yang digunakan sewaktu Sultan
mengadakan jamuan. Piring-piringnya lebar karena biasa untuk makan bersama 2
atau 3 orang. Disini juga terdapat replika
perahu Lancang Kuning yang menjadi sebutan untuk Riau.
Dalam perjalanan menuju Mesjid utama di kota Siak, saya sempat berhenti sejenak untuk berfoto di tepi sungai Siak dengan latar belakang jembatan Siak.
Karena hari sudah siang dan kami belum makan, tujuan selanjutnya adalah sholat Dzuhur di Mesjid Raya Syahabuddin dan sekaligus berfoto ria di jembatan sungai Siak. Sayang jembatannya berpagar agak tinggi sehingga sungainya tidak terlihat dengan jelas.
Menurut info dari Wikipedia, Kesultanan Siak Sri Inderapura
adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri
di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia. Kerajaan ini didirikan di Buantan
oleh Raja Kecil
dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada
tahun 1723,
setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor.
Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaana bahari yang
kuat. Sultan terakhir yang berkuasa di kesultanan Siak adalah Sultan Syarif
Kasim II yang setelah kemerdekaan menyatakan bergabung dengan Indonesia
dan menyumbang harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk pemerintah
republik. Ia adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak dan dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan
ayahnya Sultan Syarif Hasim. Sultan Syarif Kasim II mempunyai 4 istri tetapi tidak memiliki
anak. Sehingga setelah beliau wafat berakhirlah kesultanan Siak karena tidak
adanya keturunan yang meneruskan dan selanjutnya bangunan
kesultanan Siak tersebut diserahkan kepada negara.
Dalam perjalanan menuju Mesjid utama di kota Siak, saya sempat berhenti sejenak untuk berfoto di tepi sungai Siak dengan latar belakang jembatan Siak.
Karena hari sudah siang dan kami belum makan, tujuan selanjutnya adalah sholat Dzuhur di Mesjid Raya Syahabuddin dan sekaligus berfoto ria di jembatan sungai Siak. Sayang jembatannya berpagar agak tinggi sehingga sungainya tidak terlihat dengan jelas.
Setelah itu kami segera menuju ke rumah makan Kartini dengan menu specialnya adalah ikan mas goreng. Rumah makan ini terletak di pinggir jalan menuju ke Pekanbaru. Rumah makan ini terletak di pinggir semacam danau kecil berair hijau sehingga pemandangannya lumayan menyejukkan mata, tempat duduknya berada di pinggir danau berbentuk saung sederhana di bawah pohon rindang. Yang membuat rasa ikan mas gorengnya istimewa sebenarnya adalah sambalnya yang pedas. Sayang, banyak sekali lalat yang menemani kami makan sehingga kurang nyaman. Walaupun sudah diberi lilin tetap saja banyak lalat yang beterbangan. :(
Kami menempuh jalan sama seperti waktu berangkat yaitu
melalu kompleks Chevron dan sampai di Pekanbaru lagi kira-kira pukul 5 sore.
Tidak terasa saya tertidur karena kecapaian dan malamnya sudah dijadwalkan
untuk makan di RM Era 51 di
Jln Kaharuddin Nasution no 31, Pekanbaru, telpon 0761 674679, yang menjual sate
Rusa.
Beruntung begitu kami sampai
pesanan sate rusa dan sop daging rusa masih ada, karena setelah itu rumah makan
tersebut tutup karena persediaan habis.
Satu porsi sate rusa terdiri dari lima tusuk sate yang rasa
dagingnya manis dan nyaris tidak
berserat sehingga empuk sekali. Saya
hanya konsentrasi makan daging dan tidak memikirkan rusa lucu yang hidup di
luar sana. Sama seperti makan sate kelinci, kalau membayangkan lucunya binatang
itu sih, bisa-bisa makanan tidak tertelan.
Dessert malam itu adalah makan
durian di Pondok Durian Radit, yang
merupakan pusat penjualan durian di PKU.
Letaknya berada di depan Hotel Pangeran, Jl. Jenderal Sudirman.
Selain itu saya juga berfoto di depan bangunan kantor Gubernur yang berhiaskan lampu serta berfoto di depan gedung perpustakaan yang bentuknya seperti buku yang terbuka, unik. Sayang karena malam hari jadi tidak terlalu jelas, tapi cukup lumayanlah.
Selain itu saya juga berfoto di depan bangunan kantor Gubernur yang berhiaskan lampu serta berfoto di depan gedung perpustakaan yang bentuknya seperti buku yang terbuka, unik. Sayang karena malam hari jadi tidak terlalu jelas, tapi cukup lumayanlah.
Esok harinya, pagi-pagi sekitar
jam 7 kami makan pagi di Kopi Kim Teng yang paling terkenal di PKU. Menu yang
ditawarkan bermacam-macam seperti roti selai srikaya, mie ayam dan dimsum.
Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar Bawah untuk membeli
oleh-oleh. Ternyata di PKU ini yang
dijual untuk oleh-oleh selain dodol durian dari Bengkalis, juga menjual aneka
penganan dari Malaysia. Memang lebih murah dibanding di Jakarta, karena kopi
Old Town sachet yang menjadi incaran saya berselisih harga sampai 15 ribu. Saya
juga membeli aneka biskuit khas Malaysia lainnya dan menahan diri supaya tidak
kalap. Soalnya semuanya terlihat enak dan murah. Banyak pembeli dari pulau Jawa
yang membeli untuk dijual lagi dalam bentuk satuan.
No comments:
Post a Comment