Sejak
membaca mengenai trip ke Purwakarta yang diinfo di IG Koteka (Komunitas
Traveller Kompasiana) saya langsung mendaftar dan berharap sangat untuk bisa
terpilih. Kebetulan sekali tanggal itu, Sabtu, 24 September 2022 saya tidak ada
kegiatan, jadi kalau bisa terpilih benar-benar cucok meong alias pas banget.
Saya
jadi ingat dan membuka postingan lama di Instagram, ternyata saya pernah ke
Purwakarta tahun 2017 lalu. Ikutan open trip panjat tebing di Via Ferrata Gunung Parang Tetapi
trip kali ini kita akan menjelajahi obyek-obyek wisata di Purwakarta yang
lainnya. Termasuk ikonnya Purwakarta yaitu Bendungan Jatiluhur. Sudah lama
pengen kesana belum kesampaian.
Senangnya
ketika akhirnya saya terpilih untuk ikutan trip ke Purwakarta bersama teman
saya Ira Lathief. Saya nggak janjian dan nggak nanya-nanya soal trip ini, jadi
begitu tau kalo barengan ya seneng.
Akhirnya
hari yang ditunggu tiba. Cuaca cerah ceria mengiringi keberangkatan kami,
semuanya semangat karena akan jalan-jalan bertamasya keliling kota
Purwakarta. Perjalanan lancar dan kami
sampai di Kantor Dinas Kepemudaan Olahraga Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Purwakarta.
Disana kami disambut oleh tim dari Keluarga Kompasianer Purwakarta dan dibekali
dengam bermacam oleh-oleh dari UMKM Purwakarta dan brosur obyek-obyek wisata.
Setelah
itu kami bertemu dengan kabid Pariwisata Purwakarta Pak Acep Yulimulya. Kami
juga berdialog dengan wakil dari UMKM yang menceritakan asal mula mereka
berbisnis. UMKM tersebut adalah Anyelir Cake dan Momdifood dengan aneka cakenya
yang enak-enak, Pasmini Pastel Kering Mini yang sudah diekspor ke manca negara,
Nogakacang Ciganea yang renyah manis gurih, Teh Tubruk dari Perpusdes Sumurugul
dan minuman jamu segar dari Herblasssusi.
Saat
saya add IG peserta UMKM tersebut ada satu yang tidak bisa di add, yaitu dari
produk jamu. Saya menghampiri si ibu dan
menanyakan Ignya supaya jelas. Ternyata ada kesalahan tulis jadi saya langsung
add Ignya yang benar @Herblasssusi (s-nya 3) dan dapat bonus satu botol jamu
beras kencur. Waa.. asyiknya, secara saya memang senang minum jamu.
Untunglah
saya tidak ketinggalan untuk foto bersama rombongan di depan kantor dan setelah
itu kami melanjutkan perjalanan ke :
Taman Air Mancur Sri Baduga.
Ketika
diresmikan pada tanggal 18 Februari 2017,
pembukaan taman itu menjadi acara yang sangat meriah karena menampilkan
pertunjukan air mancur dan laser yang sangat memukau. Taman Sri Baduga sendiri
merupakan taman yang terbesar di asia tenggara. Sejak pandemi taman tersebut
masih ditutup untuk umum, sehingga kami tidak bisa masuk ke dalam, hanya
berfoto di depannya saja.
Setelah
itu perjalanan dilanjutkan ke :
Bale Panyawangan Diorama Nusantara
Sesuai
dengan namanya di sini terdapat diorama yang menampilan sejarah Nusantara dari
jaman purba, kerajaan Hindu Budha, jaman kerajaan Islam, macam-macam alat musik
nusantara, info mengenai provinsi di Indonesia dan masih banyak yang lain. Di
pintu keluar ada kamera interaktif yang bisa dipakai selfi dan ditulis kata-kata.
Museumnya lumayan menarik dan seru. Mesti berlama-lama supaya bisa menikmati.
Bale Indung Rahayu
Ketika
masuk museum ini saya bertanya-tanya museum apakah ini? Semuanya memakai bahasa
sunda halus yang saya tidak mengerti. Kami disambut oleh akang dan teteh yang
dengan sabar menjelaskan mengenai isi dari museum ini. Intinya Bale Indung
Rahayu ini memberikan gambaran mengenai proses lahirnya manusia berdasarkan
sunda wiwitan. Semuanya bermula dari Ai yaitu roh ego manusia yang diartikan
sebagai Aing. Tahap-tahap bayi menjadi
manusia dijelaskan disini dengan bahasa sunda. Di ruangan yang lain terdapat
juga bermacam-macam permainan anak-anak. Disini saya mencoba permainan
congklak. Jadi urutannya adalah : Bale Kelahiran, Bale Kaulinan (tempat
permainan anak-anak), Bale Arsitektur (rumah adat), Bale Kabuyutan (hutan
larangan), Bale Pawon (alat masak jaman dulu) dan Bale Musik (bermacam-macam alat
musik).
Alun-Alun kota Purwakarta dan Galeri Wayang
Tak
terasa jam 12 sudah tiba, saatnya menuju ke alun-alun kota Purwakarta dimana
terdapat mesjid Masjid Agung Baing Yusuf untuk sholat. Setelah itu kami menuju
ke dalam alun-alun untuk mampir ke Galeri Wayang yang terdapat di kompleks
pendopo kabupaten Purwakarta, yang bersebelahan dengan alun-alun.
Luar biasa! Koleksi lengkap aneka jenis wayang bisa dilihat di sini. Ada Wayang Santri, Wayang Betawi, Wayang Bambu, Wayang Cepak, Wayang Klithik, Wayang Suket, Wayang Kulit Cirebon dan Wayang Golek. Terdapat penjelasan asal mula wayang-wayang tersebut.
Di
pintu masuk dan keluar terdapat bapak-bapak yang membuat kerajinan daerah untuk
dijual. Jika di pintu masuk terdapat bapak pembuat wayang. Info dari beliau
wayang-wayang ini juga dijual di galeri Hadiprana di Jakarta. Dan di pintu
keluar terdapat bapak-bapak pembuat kerajinan suling, gelas bambu dan centong.
Harga gelasnya murah, mulai dari Rp 10 ribu. Jadilah saya dan Ira membelinya
untuk kenang-kenangan.
Tak
lupa kami berfoto di depan rumah dinas Bupati dimana terdapat kereta kuda Ki
Jaga Raksa yang membawa bendera pusaka pada upacara peringatan Kemerdekaan RI.
Sudah
lewat jam makan siang, perut sudah keroncongan, saatnya menuju tempat makan
wajib kalau ke Purwakarta. Ya, benar sekali, Sate Maranggi adalah jawaban yang
tepat. Sesampai di lokasi yang bernama Kampung Maranggi Plered ini, kami
langsung masuk dan disambut dengan asap bakaran sate yang mengepul dan menambah
rasa lapar. Setelah memesan 100 tusuk sate daging sapi dan sop kambing, kami
menunggu sambil mengobrol dan ketika pesanan sate datang langsung semua
disantap tak bersisa. Bumbu kecap untuk sate maranggi ini berbeda dengan bumbu
sate biasa, lebih kental dan ada campuran rasa manis dan asin yang pas.
Sejarah
sate Maranggi terdapat di museum Indung Rahayu yang sempat saya baca, bahwa
sate Maranggi berasal dari nama Mak Ranggi yang berasal dari Plered tempat
kampung sate Maranggi. Sate Maranggi biasanya terbuat dari daging sapi atau
kambing yang telah melalui proses perendaman dengan aneka macam rempah-rempah.
Untuk teman makan sate selain nasi bisa juga dengan ketan bakar dan sambal
oncom. Sate Maranggi dikukuhkan oleh
Kemenparekraf sebagai salah satu dari 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia
(IKTI) tanggal 14 Desember 2012.
Perut
kenyang, hati senang, menjadi tambahan semangat untuk menuju lokasi selanjutnya
yang merupakan ikon daerah Plered, yaitu :
Sentra Kerajinan Keramik Plered
Jadi
ingat pelajaran SD dulu kalau Plered terkenal dengan keramiknya, puluhan tahun
kemudian akhirnya baru kesampaian kesini. Hiasan keramik-keramik khas dengan
warna merah bata menyambut kami di halaman. Kami segera masuk ke dalam karena
cuaca di luar panas sekali. Lumayan deh ngadem sambil melihat koleksi keramik
yang beraneka ragam. Bagus-bagus semua dan bentuknya ada yang unik.
Penjelasan
mengenai keramik khas Plered diberikan oleh Pak Jujun Junaedi yang merupakan
staf disana. Beliau mengatakan kalau
keramik dari Plered paling kuat dan tahan lama karena kualitasnya yang paling
bagus dibandingkan keramik dari Kasongan, Yogyakarta dan Lombok. Bahan tanah
liat untuk membentuk gerabah itu merupakan campuran 70% tanah liat dan 30%
pasir sehingga tahan sampai diatas 1000 derajat celcius jika dibakar. Hal
inilah yang membuat keramik plered tahan lama dan banyak diekspor ke luar
negeri kaena tahan terhadap cuaca 4 musim. Karena kualitasnya yang bagus ini
membuat proses pembuatannya cukup lama, sampai 15 hari baru selesai dengan
proses pembakaran minimal 16 jam dan maksimal 24 jam. Kualitas keramik yang
bagus bisa dilihat dari suara dan warnanya. Suara yang nyaring dan warna yang
gelap menandakan keramik yang bagus. Terima kasih infonya, pak. Sangat
informatif.
Perjalanan
dilanjutkan menuju ke daerah perbukitan yaitu menuju ke :
Hidden Valley Hills
Daerah
wisata seluas 5 hektar ini dibangun oleh bapak Hendry Chandrawinata. Ketika dibangun
pada tahun 2014, ditemukanlah Tugu peninggalan Belanda yang berasal dari tahun
1898. Lokasinya yang tinggi di atas perbukitan membuat sejauh mata memandang
terdapat pemandangan indah yang memanjakan mata, dimana kita bisa melihat
gunung-gunung disekitar, yaitu Gunung Cupu, Gunung Parang, Gunung Bongkok dan
waduk Jatiluhur. Terdapat prasasti yang
bernama pilar legenda purba disini.
Tidak
perlu menginap, pengunjung bisa datang untuk berenang atau ngopi cantik serta
berfoto-foto ria dengan harga yang cukup terjangkau. Yang suka foto-foto pasti
pusing karena banyak sekali lokasi foto yang bagus. Very instagramable
pokoknya.
Lokasi
pamungkas dari one day trip ini adalah :
Waduk Jatiluhur
Tepat
menjelang sunset kami sampai di tepi waduk dan disuguhi pemandangan matahari
tenggelam yang walaupun sedikit mendung tapi tetap menakjubkan. Ini cocok
dengan semboyan Amazing Purwakarta. Kami juga berfoto di dermaga dan
duduk-duduk disana menikmati sunset of the day.
Yang
bikin mupeng pengen balik lagi ke sini adalah harga Stand up Paddle (SUP) yang
murah sekali dibandingkan di Jakarta. Harga setengahnya tetapi bisa SUP sampai
puas. Hmm, sepertinya saya akan balik lagi untuk menginap disini bersama keluarga.
I’ll be back, Purwakarta!
Note :
Dari brosur yang diberikan oleh Dinas Pariwisata, masih banyak obyek wisata di Purwakarta lainnya selain yang kami kunjungi kemarin. Ada Saung Manglid, Kampung Kahuripan Cirangkong, Kampung Tajur, Situ Wanayasa, Curug Tilu, River Tubing, Curug Cipurut, Pasir Langlang Panyawangan, Gunung Cupu, Gunung Bongkok dan masih banyak lagi.