Tiba-tiba tgl 30 Desember 2024 saya ditelpon teman saya Finka dan
tiba-tiba mengajak untuk ke Bangka tanggal 1 Januari 2025. Aduh, itu kan lusa
ya. Ampun deh, bener-bener mendadak. Dia bilang tiketnya nggak terlalu mahal
dan masih ada yang pesawat yang jamnya bareng sama dia. Karena dia berangkat
bareng anak-anaknya (suaminya gak ikut) jadi dia bisa ngajak saya. Sepertinya
dia juga mendadak berangkatnya dan tiba-tiba ingat kalau sejak awal kenal dulu
(di kantor lama) dia sudah berjanji untuk ngajak saya kalau pulang kampung ke
Bangka. Berarti sejak saya kenal Finka tahun 2000an sudah sekitar 24 tahun baru
kejadian saya ikut pulkam ke Bangka.
Saya segera memesan tiket Citilink untuk penerbangan tanggal 1
Januari 2025 dengan keberangkatan pada pukul 7.25. Untuk balik ke Jakarta, saya
pulang lebih dulu tanggal 3 Januari 2025 karena Finka masih tinggal lebih lama
disana. Untung saya juga mendapat ijin dari misua karena dia juga sudah kenal
Finka, jadi aman.
Setelah ijin cuti mendadak yang terpaksa diberikan, jadilah
tanggal 1 Januari saat Tahun Baru saya sudah berada di Soekarno Hatta Airport
Terminal 3 bersama Finka dan ke 2 anaknya Maura dan Airis. Perjalanan lancar
dan kami akhirnya mendarat di Depati Amir Airport. Sebelum mendarat kami
disuguhi pemandangan danau-danau berair biru muda bekas tambang timah. Bandara
Depati Amir juga merupakan bandara kecil jadi suasana lebih santai.
Finka sudah sewa mobil dan sudah booking hotel untuk kami menginap
1 malam di Pangkal Pinang sebelum keesokan harinya kita menuju Muntok kampung
tempat tinggal ayah dan ibunya Finka.
Tujuan awal perjalanan hari 1 kita adalah makan pagi dulu di pasar
dekat Pangkal Pinang. Karena Tahun Baru masih banyak tempat makan yang tutup
hanya ada 1 warung yang buka jadi akhirnya kami makan di warung tersebut. Menu
yang kita pesan adalah : mie kuah ikan, pantiaw (kwetiau kuah ikan), model dan
tekwan.
Setelah sarapan kami melanjutkan perjalanan ke lokasi wisata khas
pulau Bangka yaitu : Jembatan Emas.
Jembatan Emas ini adalah jembatan yang menghubungka Pulau Bangka dengan
Kabupaten Bangka. Panjang jembatan 784,5
meter dan lebar 23,2 meter ini mulai dibangun pada tahun 2010 selesai tahun
2017. Merupakan satu-satunya jembatan di kawasan Asia Tenggara yang menggunakan
teknologi cable stayed with bascule, yaitu teknologi yang memungkinkan bagian
tengah jembatan terangkat sehingga dapat dilalui kapal.
Sewaktu kami sampai jembatan sedang terangkat sehingga kami bisa
foto di depannya. Banyak penjual makanan dan minuman disana dan penduduk yang
menikmati suasana pantai.
Obyek wisata selanjutnya adalah Vihara Putri Tri Agung yang
merupakan tempat ibadah (vihara) umat Konghucu, Buddha, dan Tao (Tri Dharma)
yang terletak di atas bukit di Sungailiat, Bangka Belitung.
Sewaktu sampai di sini hanya saya yang keluar untuk melihat dan
foto karena Finka dan anak-anak sudah pernah. Karena letaknya di atas bukit
terlihat pemandangan laut yang cantik di kejauhan. Setelah puas foto-foto di
depan patung disana yaitu patung Buddha Maitreya pada bagian depan vihara serta
patung Dewi Kwan Im yang berada di pojok kanan saya kembali ke mobil dan
melanjutkan perjalanan.
Tujuan selanjutanya adalah main air di pantai! Sepanjang Sungai
Liat banyak terdapat pantai yang cantik-cantik, tetapi tour guide kami hari itu
membawa kami ke Pantai Jambosag.
Pantai disini mirip dengan pantai di Belitung karena banyak batu-batu
besar. Saya sudah pernah ke Belitung beberapa tahun yang lalu. Pasirnya putih
dan cukup halus. Seru foto-foto di atas batu dan bermain di air laut yang
bening. Menurut tour guide kami pantai ini baru dibuka sehingga pengunjung
belum terlalu banyak. Karena pantai baru, fasilitas toiletnya masih kurang,
terpaksa kami menumpang di rumah penduduk untuk bebersih dan buang air.
Hari sudah semakin siang dan perut sudah lapar, kami menuju kota
Pangkal Pinang untuk makan. Makanan khas kota Bangka yang sudah terkenal siap
memanjakan lidah dan perut adalah.. ikan lempah kuning, yang kali ini kami coba
adalah RM Lempah Kuning Bang Agoes di jalan Len Listrik, Pangkal Pinang.
Finka yang memesan menu-menu khas Bangka yang ada di resto tersebut. Saya
tinggal makan saja dan semuanya enak.
Setelah kenyang kami menuju penginapan malam itu di Red Doors
dekat Transmart. Ini penginapan sederhana yang memang kami pilih karena cuma
untuk tidur saja. Setelah istirahat, mandi dan sholat maghrib kami keluar lagi
menuju toko oleh-oleh di jalan Bacang, Bukit Intan yang bernama Godau Sejiwa.
Tempat oleh-oleh ini lumayan besar dan lengkap. Awalnya toko oleh-oleh sudah
hampir tutup karena pintu depannya hanya terbuka sedikit tetapi kami turun dan
bertanya apakah masih boleh belanja karena datang dari Jakarta. Untunglah penjualnya
baik karena kami diijinkan untuk masuk. Hampir semua oleh-oleh khas Bangka ada
di sini jadi saya lumayan kalap belanja macam-macam.
Puas belanja, kami menuju tempat terakhir malam itu yaitu Kedai Kopi
Tung Tau yang merupakan kedai kopi yang terkenal di Bangka. Saya pesan kopi
dan roti srikaya dan duduk-duduk sambil ngobrol serta menikmati suasana malam
di Pangkal Pinang.
Puas ngopi saatnya kembali ke penginapan. Besok saya harus bangun
pagi karena mau lari di Pantai Pasir Padi.
Hari ke 2
Bangun pagi, sarapan dikit, siap-siap dan ganti baju lalu order
gojek ke Pantai Pasir Padi. Dari tengah kota ke pantai Pasir Padi
berjarak 10 km dan karena masih pagi jalan masih sepi. Setelah tiba di pantai
dan tak lupa foto-foto saya segera lari menyusuri pantai. Saya berlari kecil
menelusuri jalan raya kecil beraspal mulus di tepi pantai. Ada semacam menara
pandang dan beberapa ayunan juga tulisan Pantai Pasir Padi. Keadaan pantai sepi
sekali, hanya ada beberapa orang di sana. Tidak ada yang lari seperti saya.
Saya sudah membatin, pasti nanti susah dapat Ojol karena lokasinya yang agak
jauh. Benar saja, setelah mencoba order dan tidak ada yang ambil, akhirnya saya
agak nekat. Mencoba memberhentikan motor yang lewat dan meminta bantuan di
antar ke lokasi yang agak ramai supaya bisa order Ojol. Akhirnya ada mbak-mbak
yang bersedia membantu dan dia mengantar saya menuju pasar terdekat yaitu Pasar
Air Itam. Saya diturunkan di Indomaret dan berhasil pesan Ojol dari sana.
Dalam perjalanan pulang ke hotel saya sempat mampir untuk Klenteng
Fuk Tet Che yang terkenal di Pangkal Pinang karena lokasinya yang berada di
perempatan jalan dan merupakan kuil penghormatan bagi Dewi Bumi dan Foto di Titik
Km 0 Pangkal Pinang. Berdasarkan info mbak Google, Tugu titik nol ini dipesan
khusus menyerupai uang koin yang dulu pernah digunakan di distrik Pangkalpinang
pada tahun 1217 Hijriah atau 1802 Masehi yang disebut Picis Van Pangkalpinang.
Berdiameter 4,8 meter dan berat 600 kg, tugu ini merupakan ikon baru kota
Pangkal Pinang. Bagian depan koin yqng menghadap jalan bertuliskan arab
"Haza Falus Pangkalpinang" yang berarti "Ini Uang (kongsi) dari
Pangkalpinang" sedangkan bagian belakangnya yang menghadap rumah dinas
wali kota bertuliskan Hakka "Bin Lang Atau Pin Lang" yang berarti
Pohon Pinang. Makasih ya pak Gojek udah bantu fotoin saya. Hehehe...
Sampai di penginapan saya segera mandi dan beres-beres kami
melanjutkan perjalanan menuju kota Muntok, kota kelahiran Finka. Kota yang
tekenal dengan tambang timahnya. Perjalanan selama 2 jam berlangsung mulus,
hanya berhenti 1 kali untuk jajan di Indomaret. Jalan raya dari Pangkal Pinang
menuju Muntok tidak terlalu besar tetapi mulus dan naik turun mengikuti kontur
perbukitan. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan kebun sawit, tanah kosong
dan rumah penduduk.
Sampai di rumah Finka, kedua orang tuanya sangat senang karena ini
merupakan surprise, tidak sangka anak dan cucunya akan datang dan saya yang
mendadak ikut.
Setelah beristirahat dan makan siang, saya diajak Finka jalan-jalan keliling kota Muntok, kami singgah sebentar di Museum Timah dan foto-foto di depannya saja karena museum sudah tutup, tidak lupa pula berkeliling ke kompleks Timah yang merupakan kompleks yang lengkap dan modern pada jamannya. Kami juga mampir ke pabrik timah yang masih beroperasi dan melihat pabriknya dari jauh.
Akhirnya
kami sampai ke tujuan terakhir siang itu : Mercu Suar yang terletak di
Tanjung Kalian. Mercu Suar dengan tinggi 56 meter tersebut dibangun pada tahun
1862 oleh perusahaan Timah Belanda, Banka Tinn Winning. Kita dapat naik sampai
ke bagian atas mercu suar dengan menaiki 199 anak tangga (162 batu, 28 kayu dan
9 besi). Sampai saat ini mercu suar masih berfungsi dengan baik sebagai menara
pengamatan bagi nahkoda yang akan berlayar. Selain itu Mercu suar ini juga
telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan obyek wisata.
Saya juga naik ke atas mercu suar dan menikmati pemandangan yang
luar biasa dari atas. Walaupun jantung berdebar kencang karena lebar balkon
hanya 50 cm. Kebetulan di atas hanya ada saya saja yang naik waktu itu, Finka
tidak ikut karena sudah beberapa kali naik.
Setelah puas foto-foto, saya turun ke bawah dan mencari Finka yang
sedang ada di pantai. Di pantai ini juga ada monumen Monumen Penghargaan dari
pemerintah Australia untuk 67 orang perawat yang tewas karena dibunuh Jepang
saat perang dunia II pada bulan Februari 1942. Disana juga terdapat bangkai
kapal Van Der Parra atau kapal dagang pemerintah Belanda yang sengaja
ditenggelamkan pada tahun 1934.
Oh iya, sebelumnya kami juga mampir ke klenteng Kong Fuk Miau dang
lokasinya bersebelahan dengan Mesjid Jami. Dua bangunan ini termasuk
peninggalan bersejarah karena dibangun pada tahun 1880 dan1883 dan menjadi
simbol toleransi beragama di kota Muntok.
Kami juga melewati rumah tua cina bersejarah peninggalan Mayor
Chung A Thiam yang dibangun pada tahun 1834. Bangunan ini memiliki arsitektur
campuran Eropa, China, dan Melayu, dengan ciri khas pilar-pilar besar di teras
dan dua patung singa di bagian depan. Mayor China di kota Muntok ini diangkat
oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk memimpin etnis China di Bangka, karena
banyak tenaga kerja yang berasal dari Cina di pabrik timah di Muntok.
Malam harinya kami keluar lagi untuk makan durian sumatera yang
banyak terdapat di kota Muntok, duriannya manis khas durian sumatera dan
setelah itu kami sempat nongkrong sebentar di keda kopi Java Coffee di Muntok
sekalian menjemput anak dan keponakan Finka yang sedang hang out di sana.
Hari ke 3
Hari terakhir di Muntok dan Bangka, pagi ini saya bangun pagi dan
duduk di teras menikmati kota Muntok yang tenang. Saya sarapan kue-kue basah
yang dijual tetangga. Tampak ada beberapa makanan yang agak beda dengan yang
ada di pulau jawa. Dari teras rumah ini kita dapat melihat puncak Bukit
Menumbing di kejauhan.
Sepertinya tidak ada waktu untuk santai karena Finka minta diantar
ke pasar Muntok untuk belanja. Setelah mengantar Finka berkeliling pasar saya
menuju ke bagian belakang pasar untuk sekedar menikmati udara laut di pantai.
Kami pulang ke rumah untuk menaruh belanjaan dan pergi lagi menuju
Bukit Menumbing dimana terdapat obyek wisata Pesanggrahan Menumbing.
Disana ada rumah bersejarah yang pernah ditempati Bung Karno sewaktu beliau
diasingkan di Pulau Bangka.
Dalam perjalanan ke bukit kami melewati obyek wisata Batu Balai
yang merupakan tumpukan 2 batu yang besar dengan bentuk yang unik mirip kapal.
Alkisah keberadaan batu ini mempunyai cerita yang mirip dengan Malin Kundang.
Setelah melalui jalan yang berkelok kelok sekitar 20 menit
akhirnya kami sampai juga di Pesanggrahan Menumbing. Suasana sunyi dan hujan
rintik-rintik ditengah hutan yang cukup lebat membuat suasana bertambah syahdu.
Tetapi ternyata sudah ada pengunjung yang sampai duluan.
Pada bangunan utama di sana yang merupakan rumah tempat Bung Karno
diasingkan saat ini sudah terdapat museum modern dimana terdapat mobil tua dan
patung Bung Karno dan Bung Hatta. Selain itu terdapat hologram 3D yang canggih
dimana jika kita berdiri di sebelah tulisan yang ada akan membentuk siluet Bung
Hatta.
Setelah melewati ruang interaktif di bagian depan, bagian di
bagian belakang bangunan kita bisa melihat ruangan yang masih asli peninggalan
bangunan tersebut lengkap dengan foto-foto bersejarah. Diantaranya kita bisa melihat
ruang kerja dan meja kerja Bung Karno.
Asal mula pesanggrahan Menumbing ini adalah rumah peristirahatan
yang dibangun oleh perusahaan timah Belanda pada tahun 1927. Terdapat beberapa
bangunan disana dimana bangunan utama yang menjadi tempat peristirahatan
mempunyai 25 kamar.
Setelah agresi militer II pada tahun 1948 pada saat Belanda ingin
kembali menguasai Indonesia, mereka menangkap tokoh yang memperjuangkan
kemerdekaan dan mengasingkan mereka ke Bukit Menumbing ini. Mereka adalah Mohammad
Hatta, AG Pringgodigdo, Asa'at, dan Soerjadi Suryadarma. Kemudian pada 31
Desember 1948 menyusul Ali Sastroamidjoyo dan Mohamad Roem dan tanggal 6
Februari 1948 Soekarno dan Haji Agus Salim.
Saya tidak berlama-lama di dalam museum dan segera keluar untuk
menikmati pemandangan kota Muntok dari atas mumpung cuaca masih cukup cerah dan
foto-foto di depan bangunan. Benar saja tak lama setelah saya foto-foto hujan rintik
turun dan kabut mulai menutupi pemandangan. Sewaktu mobil kami hendak turun,
karena jalan yang kecil dan hanya cukup untuk satu kendaraan melintas, kami
diberi tahu untuk menunggu dulu karena ada rombongan yang menuju ke atas.
Setelah aman baru kami bisa turun.
Sebelum sampai di rumah Finka, kami mampir dulu di Pesanggarahan
WTB (Winning Tin Banka) atau yang sekarang menjadi Wisma Ranggam
atau Pesanggrahan Muntok. Bangunan bersejarah ini dibangun pada tahun 1927 oleh
pemerintah Belanda dan difungsikan sebagai gedung pengadilan. Setelah beralih
fungsi sebagai mess untuk karyawan pabrik timah rumah ini menjadi tempat Bung
Karno diasingkan, yang awal mulanya diasingkan di bukit Menumbing, karena tidak
tahan dingin, beliau minta dipindah ke tempat ini.
Di dalam bangunan ini terdapat ruangan-ruangan yang dahulu
dijadikan lokasi untuk perundingan gencatan senjata dan ruangan tidur Bung
Karno serta tokoh-tokoh yang lain. Di sini terdapat mesin jahit dengan bendera
merah putih di atasnya karena terdapat cerita untuk mengelabui Belanda. Bendera
merah putih yang sudah dipisahkan merah
dan putihnya dibawa oleh Sudjonohadinoto dari Yogyakarta ke Bangka, dengan cara
dijadikan ikat pinggang sesampainya di Bangka diserahkan ke Abang Yusuf Rasyidi
dan dijahit kembali dan menjadi bendera Sang Saka Merah Putih.
Dari bangunan inilah Soekarno dan Hatta mulai melakukan
perundingan dengan Komisi PBB yaitu UNCI (United Nation Commission for
Indonesian).
Kembali ke rumah Finka, saya segera beberes dan makan siang dengan
menu sayur khas Muntok yang lezat. Saya tidak tau namanya tetapi sayur ini baru
saya temukan disini. Sekitar jam 1 siang saya dijemput travel untuk menuju ke
Pangkal Pinang. Berat rasanya cepat berpisah dengan ama dan ato Finka yang
ramah.
Hujan sempat menemani perjalanan ketika sudah mendekati Pangkal
Pinang, karena tujuan akhir saya airport saya diantar terakhir. Menunggu di
bandara sampai saatnya check in dan terbang kembali ke Jakarta san sampai
dengan selamat.















































































































No comments:
Post a Comment