Sunday 12 February 2017

My 1st Solo Traveling to Bangkok (Day 3)



Jam 5 pagi alarm di HP saya berbunyi. Di tengah gelapnya kamar saya ganti baju lari dan ke kamar mandi untuk sikat gigi dan cuci muka serta akhirnya berjalan keluar hostel. Di depan hostel saya bertemu dengan cowok yang jaga di resepsionis dan sempat ngobrol. Saya memberitahukan bahwa nanti siang saya akan check out dan menuju bandara Don Muang untuk kembali ke Jakarta dengan pesawat Air Asia. 

Sayang sekali, cowok tersebut tidak bisa membantu memberikan alternatif bus untuk menuju ke Bandara Don Muang dan hanya menyarankan untuk naik Taxi.
Padahal sewaktu browsing di internet tadi malam saya menemukan alternatif bus yang menuju ke sana dan harganya tentu saja jauh lebih murah.
Saya mulai berlari kecil menuju ke dermaga Phra Atit lagi, melalui jalanan Khao San yang mulai menggeliat dengan aktivitas usai keramaian malam sebelumnya. Jalanan tempak masih basah oleh air hujan tadi malam. Beberapa orang melihat saya sekilas tetapi mereka tampak tidak peduli. Saya juga tidak merasa takut berlari sendirian di tengah orang-orang yang berada di sana. Cuaca pagi itu masih agak gelap karena mendung sisa hujan tadi malam.
Karena hanya berjarak sekitar 2 km, dalam sekejap saya sudah sampai di dermaga yang masih sepi. Tidak ada seorangpun berada di sana. Informasi yang saya dapat kapal pertama yang berjalan pada pagi hari adalah pukul 5.30 pagi.
Saya berdiri di pinggir sungai sambil melihat dengan cemas ke arah sungai yang penuh dengan tanaman enceng gondok. Jangan-jangan karena hujan semalam, sungai dipenuhi dengan tamanan tersebut dan kapal tidak jalan.

Ternyata rasa cemas saya tidak beralasan, lamat-lamat terdengar bunyi peluit yang nyaring di tengah udara pagi itu yang dingin dan mendung. Ah, lega rasanya, kapal akhirnya datang juga. Ternyata walaupun sungai penuh dengan tanaman enceng gondok, kapal masih bisa berlayar. Mungkin memang tanaman itu tidak mengganggu kapal.
Saya segera naik ke atas kapal yang sudah penuh dengan anak sekolah dan para pekerja kantoran. Saya mengikuti jalur seperti pada hari pertama, saya turun di dermaga yang terdapat stasiun BTS dan ketika bertanya ke petugas bahwa saya akan ke Lumpini Park saya diberi tahu untuk turun di Stasiun Silom.
Dan benar saja, dari stasiun saya tinggal turun di pintu keluar yang mengarah ke Lumpini park dan akhirnya saya sudah tiba di Taman terluas di Bangkok tersebut. Dari atas jembatan saya bisa melihat ke bagian depan taman dimana terdapat patung dengan ukiran khas Thailand.
Ah senangnya akhirnya bisa berlari di taman ini. Sejak senang olahraga lari saya memang selalu menyempatkan diri untuk berlari di setiap kota yang saya datangi. Dan sudah jadi impian saya kalau ke Bangkok saya akan berlari di sini.









Lumpini park ini mempunyai luas 0,57 km persegi dan terletak  di Distrik Sarthorn, di pusat Kota Bangkok yang dikelilingi gedung-gedung pusat bisnis dan perkantoran. Tepatnya di persimpangan Jalan Ratchadamri dan Rama IV. Taman ini dibangun pada tahun 1920an mengambil nama tempat Buddha dilahirkan di Nepal. Buka mulai pukul 4.30 pagi sampai 11 malam dan gratis.
Setelah puas berfoto ria saya segera mulai aktivitas lari pagi keliling taman. Saya banyak berhenti untuk foto-foto karena taman yang cantik ini penuh dengan sudut yang bagus untuk foto-foto. Di tengah taman terdapat danau luas yang indah.
Oh iya, ketika saya ke sana pagi itu sepertinya ada kebakaran di suatu tempat karena asap tebalnya terlihat dari tamani. Ketika saya berhenti untuk melihat ke arah asap itu, saya sempat diajak ngobrol memakai bahasa Thai dengan seorang bapak yang berdiri di sebelah saya. Saya hanya mengangguk sambil tersenyum saja. Hahaha, pasti saya dikira gadis Thai. Karena masih berasal dari Asia Tenggara penampilan saya memang tidak terlalu berbeda dengan cewek-cewek di Bangkok. Malah sewaktu saya ke Phuket beberapa tahun lalu saya sering dikira cewek Filipina. Malah ketika saya sedang berjalan sendirian di pantai Kuta pun saya dikira cewek Filipin. Itu sih asal banget yang bilang. hehehe
Saya berlari sejauh 5km dan mengakhiri acara lari hari itu dengan makan bekal untuk sarapan yang saya beli tadi malam. Saya sarapan sambil menikmati pagi yang tenang di tepi danau. Bangku-bangku yang nyaman memang disediakan di seputar taman dan di tepi danau. 

Tak terasa hari sudah semakin siang, saya harus bergegas kembali ke hostel untuk check out dan ke bandara. Sengaja lebih cepat karena akan memakai transportasi bus supaya lebih murah. 

Saya memggunakan rute yang sama dengan rute berangkat tadi pagi. Sewaktu menunggu kapal ternyata lebih lama dari biasanya. Dan saya sempat bingung karena ada dua dermaga dimana dermaga yang satu lagi khusus untuk kapal wisata. 

Akhirnya saya sampai juga di hostel setelah sebelumnya mampir dulu makan coconut ice cream di Khao San. Ini adalah makanan yang harus dicoba jika berada di Bangkok. Es krim kelapa yang lembut di letakkan di dalam batok kelapa yang sudah dibentuk kotak. Enak banget. Kalau tidak.bisa menahan diri pengennya sih makan 2 porsi. 


Setelah selesai packing dan menukarkan kunci dengan deposit sebesar 100 Baht saya segera berjalan menuju halte bus dekat Democracy Monument. 

Disini saya melakukan kesalahan fatal yaitu lupa nomor bus untuk menuju ke bandara Don Muang. Dan saya lupa mencatatnya di HP saya, alhasil saya naik bis yang salah dan terbawa ke arah Istana Royal Palace.  Saya agak panik karena waktu berjalan terus dan bandara Don Muang entah berada dimana. Saya sempat bertanya ke cewek yang duduk disebelah saya yang karena tidak terlalu lancar bahasa Inggris akhirnya menelpon seseorang dan memberikannya kepada saya. Saya harus naik bis dengan arah sebaliknya. Jadi saya harus turun dari bis dan menyeberang. Tetapi karena sudah telat saya terbawa sampai Royal Palace dan ikut sampai bis memutar dan baru turun di halte berikut. Kondektur bis sudah menuliskan nomor bus yang seharusnya saya naiki. 

Untunglah tanpa menunggu terlalu lama bis saya akhirnya datang juga. Saya segera naik dan duduk manis di pinggir jendela. 
Rasa cemas kembali datang ketika bis tidak kunjung sampai ke tujuan. Saya takut sekali ketinggalan pesawat karena jika hal itu terjadi saya harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar untuk membeli tiket baru. 

Akhirnya bis berhenti di terminal Mo Chit, terminal akhir dari rute bis yang menuju bandara dan saya langsung melompat keluar untuk bertanya kepada seseorang.  Panik to the max rasanya karena seperti berada in the middle of nowhere. Saya tidak mengira kalau Mo Chit ini adalah terminal besar dengan bermacam-macam rute bis ke seluruh Bangkok.
Saya bertanya kepada orang yang berada di terminal dan diberi tau bahwa saya harus naik bis lagi yang menuju ke halte tempat bis A1 menuju bandara. 
Saya sempat mengatakan bahwa akan naik taksi saja karena bis tampaknya masih lama berjalan. Tetapi karena melihat muka saya panik, wanita tadi yang ternyata adalah kondektur bus yang harus saya naiki langsung menyuruh saya naik ke bus tersebut dan bus langsung berangkat. Saya lupa bus ini nomer berapa. Jadi lain kali mesti check lebih jelas ke kondektur atau orang di terminal yang mengetahui mengenai bus ini.

Dengan bantuan penumpang lain yang bisa bahasa Inggris, mbak kondektur membantu menjelaskan ke saya bahwa jarak halte yang dimaksud sudah dekat dan saya tidak perlu panik karena tidak akan ketinggalan pesawat. Justru jika naik taxi akan lebih lama karena susah mendapat taxi susah di daerah itu. 

Dan benar saja akhirnya saya diturunkan di halte dimana saya akan naik bis A1 menuju Bandara Don Muang. Selama saya menunggu ada beberapa orang yang datang sambil membawa koper. Saya juga sudah bertanya kepada penjaga di halte tersebut dan diberi tau kalau tidak lama lagi bus akan datang. 

Akhirnya bis A1 datang juga, aah .. lega rasanya karena waktu masih mencukupi. Bus ini rutenya tinggal masuk high way menuju bandara dan dalam sekejap saya sudah sampai di terminal kedatangan. Alhamdulilah.  Karena sudah check in saya tinggal menunjukkan boarding pass, melewati imigrasi dan akhirnya duduk manis di ruang tunggu.  Lega dan puas rasanya. Belum pernah saya merasa sepuas saat itu karena berhasil naik bis ke bandara Don Muang yang berarti bisa menghemat uang ratusan ribu untuk ongkos taxi. Tapi kalau mengingat rasa deg-degan dan panik tadi sih rasanya kapok juga. Lain kali mesti lebih teliti lagi sebelum memutuskan naik angkutan umum ke Bandara. 
Tapi untuk saya sih justru kejadian-kejadian unik seperti ini yang bikin traveling menjadi seru dan mengasyikkan. Kejadian yang tidak akan kita dapatkan jika kita berjalan-jalan dengan mengikuti paket tur. 

Sekedar catatan, untuk yang maniak foto-foto jika ingin ber solo traveling kudu dan harus siap tongsis jika ingin hasil foto selfienya lebih bagus. Jika nggak suka pake tongsis kayak saya harus siap-siap menerima hasil selfie yang apa adanya. 
Waktu foto-foto sendirian di Lumpini Park saya sampe diliatin orang-orang yang lari-larian karena saya sibuk foto selfie berulang-ulang. Malu siih, tapi gimana dong.. masak nggak punya foto. Udah gitu saya kadang sibuk menikmati pemandangan jadi lupa untuk foto. Nggak apa-apa deh kan memory last forever. Biarpun nggak ada fotonya tapi kenangan tetap terus ada. Cie..


Berikut link yang berguna untuk info jalan-jalan di Bangkok :




My 1st Solo Traveling to Bangkok (Day 2)



Pagi harinya saya baru bertemu teman-teman satu dorm saya. Ada dua orang bule asal Jerman dan satu orang asia. Saya tidak bisa mengetahui dari Asia mana, mungkin Bangkok atau Philipina. Setelah mandi dan beres-beres saya segera berangkat. Tidak lupa membawa beberapa peta karena tujuan saya hari ini adalah Grand Palace beserta kuil-kuil disekitarnya.  Hostel saya terletak di jalan raya yang cukup ramai dengan beberapa bangunan khas Thailand, sepertinya sih gedung sekolah kalau saya lihat di Google Map. 



Dengan Google map pula saya menuju ke Democracy Monument yang terletak tidak jauh dari hostel Sebelumnya saya mampir dahulu ke minimarket , membeli roti untuk sarapan. Setelah berjalan kurang lebih 200 meter sampailah saya di sebuah perempatan jalan dengan Democracy Monument di tengahnya.  






Democracy Monument  terletak di Ratchadamnoen Road, adalah monument yang mencerminkan demokrasi dan kebebasan.  Marshall Field Plaek Pibulsonggram ditugaskan untuk memperingati kudeta militer yang pernah terjadi pada bulan Juni tahun 1932. Aksi tersebut adalah penyebab konstitusi demokrasi di Thailand timbul pertama kali dan memiliki kekuasaan yang mutlak.  Monumen ini juga didirikan agar Thailand memiliki bangunan yang setara dengan Arc de Triomphe di Paris yang merupakan lambang kebebasan dan demokrasi. Bangunan  ini pertama kali dibangun pada tahun 1939 dan sejak itu lokasi berdirinya monumen digunakanan tempat berkumpulnya para demonstran pro-demokrasi yang pernah terjadi pada tahun 1973, 1976 dan 1992.
Di sini juga terdapat plakat Nol kilometer yang saya temui terdapat di pinggir jalan.  Saat itu saya sedang asyik menikmati keramaian kota Bangkok dan tiba-tiba menemukan tulisan mengenai Titik Nol Km ini. 


Di jalan yang baru saya lewati tadi ada sebuah sekolah, sehingga banyak anak sekolah yang datang diantar mobil. Ada dua orang polisi tampak mengatur lalu lintas.
Jalan raya dimana terletak Democracy Monument ini merupakan jalan raya utama, sehingga cukup ramai. Walaupun ramai tetapi tidak sampai terjadi macet yang berkepanjangan. 
Saya bertanya kepada polisi yang bertugas sambil memperlihatkan peta Bangkok yang saya bawa. Saya hanya memastikan lokasi Grand Palace dan lokasi halte terdekat karena saya ingin naik bus kesana. 

Ternyata polisi tersebut kurang mengerti bahasa Inggris sehingga memanggil temannya yang tampak lebih tua. Mungkin juga bosnya.  Polisi yang lebih tua ini memberi petunjuk arah menuju Grand Palace.  Bisa jalan kaki katanya, karena sebenarnya tidak terlalu jauh. Kalau ingin naik bis bisa ke halte yang letaknya di seberang. 

Sip lah pak. Sepertinya saya mau naik bis saja ke sana, karena Bangkok pagi ini panasss sekali.  Saya tidak mau meleleh begitu sampai di Grand Palace.
Setelah menyeberang, saya duduk di tempat duduk yang banyak terdapat di pedestrian.  Lumayan adem karena banyak pohon. Saya duduk sambil mulai makan bekal untuk sarapan yang saya beli di minimarket tadi. Saya membeli susu Frisian Flag rasa coconut yang saat itu belum saya temui di Jakarta. Rasanya enak banget nih susunya. Belakangan setelah sampai di Jakarta ternyata susu ini sudah ada di Alfamart. Hehe.. 

Ini adalah kegiatan favorit saya jika traveling. Duduk mengamati kegiatan penduduk lokal.  Karena saya duduk dekat dengan halte bus, lokasi tersebut cukup ramai dengan orang-orang yang hendak beraktivitas.  Bus-bus pun datang silih berganti dengan nomor bus yang tertera di depannya tetapi trayeknya memakai bahasa Thai.  Bus di Bangkok termasuk bus tua tetapi bersih. Penumpangnya juga tidak terlalu banyak sampe berjejalan. Jadi cukup nyaman. Ada bus yang ber ac dan tidak. 

Di tiap halte ada daftar bus beserta jurusannya. Jika tidak kita bisa cek dulu di google map kita akan pergi kemana nanti akan terlihat no bis menuju tujuan yang dimaksud.
Setelah sarapan saya habis, saya menunggu bis menuju Grand Palace dan ketika datang saya langsung naik dan beruntung saya mendapat tempat duduk.  Saya mendapat tempat duduk di pinggir jendela sehingga bias puas melihat pemandangan. Bis yang saya naiki tidak ber-ac, tetapi mempunyai jendela besar tanpa kaca. Atau kacanya terbuka sehingga tidak terasa panas karena hembusan angin dari luar. 



Sewaktu sedang berhenti di lampu merah, ternyata tepat bersebelahan dengan sebuah tugu atau monumen, jadi saya langsung memotretnya dari jendela bus. 



*Selama saya ber solo traveling di Bangkok, sepertinya tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Bangkok aman untuk para traveler wanita. Hanya untuk masalah bahasa perlu mencari orang yang tepat yang bisa bahasa Inggris.  Selain itu kita harus mengumpulkan informasi yang lebih lengkap mengenai transportasi dan selalu sedia  peta yang jelas dan lengkap. 

Akhirnya bus mulai mendekati kompleks Grand Palace, hal ini terlihat dari bagian atas bangunan yang mulai terlihat dari kejauhan. Penumpang di sebelah saya,seorang bapak tua mulai berdoa ketika bus melewati samping Grand Palace. Beliau menunduk dengan khidmat. Raja Thailand memang sangat dihormati rakyatnya sehingga kejadian tersebut adalah hal yang wajar.  Wujud kecintaan rakyat terhadap pemimpinnya. Saya tidak sempat melihat apakah penumpang bus yang lain melakukan hal yang sama. 










Saya turun di halte yang paling dekat dengan pintu masuk Grand Palace. Saya memang sudah berencana tidak masuk ke sini karena tiketnya yang mahal. Misi liburan saya kali ini hanya untuk menikmati kota Bangkok dan tidak memasukkan objek wisata berbayar ke dalam itinerary.
Serombongan turis baru saja datang dengan bus besar dan memenuhi pintu masuk Grand Palace. Saya menikmati semua itu dari pinggir lapangan Sanam Luang yang luas. Setelah berselfi ria dengan latar Grand Palace, lumayan masih kelihatan sedikit atap bangunan-bangunan di dalam kompleks, saya juga berjalan ke seberang Grand Palace dan menikmati keindahan Thawornwatthu Building yang berwarma merah maroon. Bangunan tua yang dibangun pada jaman Raja Rama dan saat ini digunakan sebagai perpustakaan. 




Pagi itu Bangkok sangat panas, jadi saya memutuskan untuk segera menuju objek wisata berikutnya yaitu Wat Po. Saya berjalan menyusuri trotoar bangunan yang digunakan untuk toko cenderamata dan restoran kecil. Diantara toko dan restoran tersebut terdapat sebuah kantor pos. Saya masuk kedalam untuk melihat-lihat. Sempat menanyakan harga kartu pos yang niatnya mau dikirim ke rumah. Tapi batal karena saya tidak yakin dengan harganya.
Setelah bertanya beberapa kali akhirnya sampailah saya di Wat Po. Kuil yang terkenal dengan Sleeping Budha raksasa yang berwarna emas. 

Sebelum tiba di sana saya melewati pasar yang sepertinya lebih menarik karena ada penjual ketan mangga dan ketan durian. Karena saat itu udara panas saya lebih tertarik untuk membeli minuman thai ice tea yang dijual oleh pedagang kaki lima depan kuil.  Murah meriah dan dapet segelas besar thai ice coffee di dalam gelas platik dengan tali. Saya akhirnya pesen kopi aja deh biar nggak ngantuk. 







Saya masuk ke dalam kuil dan duduk di kursi yang terdapat di sana. Pengunjung tidak terlalu banyak. Saya cukup puas dengan memotret ukiran dan patung yang terdapat di pintu gerbang Wat Po. Dari jendela besar di belakang saya duduk terlihat kaki patung Budha yang keemasan. Yah, cukuplah lihat kakinya doang, yang penting udah lihat kan.  Jadi saya bergegas menuju ke dermaga penyeberangan yang terletak di belakang pasar yang saya lewati tadi. 

Bagian dalam pasar bersih dan terdapat kios-kios yang berjualan baju dan cendera mata serta makanan. Rencana mau kembali lagi nanti sore untuk membeli ketan mangga.
Sampai di dermaga, saya memutuskan untuk tidak menyeberang menuju Wat Arun. Sepertinya Wat Arun sedang direnovasi karena dari jauh tampak bambu-bambu yang bersilangan menutupi kuil tersebut. Ditambah panas yang menyengat saya jadi malas kesana dan memilih untuk duduk-duduk saja di kursi di tepi dermaga sambil melihat orang lalu lalang. 

Sebelah saya ada seorang cowok thai imut yang akhirnya saya ajak ngobrol karena bahasa inggrisnya cukup lancar. Saya menanyakan lokasi Pratunam Market, tetapi dia tidak tau dan menyarankan saya untuk ke Siam Shopping Mall karena beberapa mall lain letaknya tidak jauh dari sana. Dari dermaga Tha Tien kami akan naik kapal menuju dermaga Sathorn (Central Pier)  yang dekat dengan stasiun BTS Saphan Taksin untuk menuju ke BTS Siam. Ah senangnya ada yang bisa membantu. Lumayan juga ada cowok itu jadi saya bisa difoto dengan latar belakang Wat Arun. Sayang nggak sempat kenalan dan tukeran no telpon. Hehe…  Padahal kan bisa ditanya kalo saya bingung lagi. 



Selama saya menunggu di dermaga tersebut, saya sempat bertemu dengan serombongan turis asal Indonesia yang menyewa kapal khusus.  
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya cowok itu memberi tanda untuk bersiap-siap naik ke atas kapal yang mendekat. Peluit panjang dibunyikan oleh petugas kapal tanda kapal merapat dan penumpang akan turun dan naik. 

Saya segera naik ke kapal yang cukup penuh karena ada penumpang yang berdiri. Tetapi saya cukup beruntung karena mendapat tempat duduk.  Waktu mau bayar eh petugas kapal yang jadi kondektur nggak melewati area saya duduk, jadilah saya nggak bayar.  Mungkin udah dibayarin kali sama cowok itu. GR.

Perjalanan naik kapal di Bangkok adalah pengalaman yang sangat menyenangkan.  Udara panas kota Bangkok tidak terasa karena angin kencang menerpa para penumpang. Percikan air kadang terasa jika ombak di sungai agak besar. Pemandangan di pinggir sungai juga sangat menarik, gedung perkantoran, hotel, shopping mall,  rumah-rumah besar dan kecil serta gambar Raja dan Ratu Thailand berselang seling. Beberapa kali kami berpapasan dengan kapal lain yang menuju arah sebaliknya. 







Yang paling seru sih jika kapal hendak merapat, bunyi peluit yang khas serta ocehan petugas kapal dalam bahasa Thai yang khas –bunyinya jadi seperti merepet gitu, membuat saya senyum-senyum sendiri. Mungkin artinya, para penumpang harap hati-hati bla bla bla.. 

Akhirnya sampailah kami di dermaga yang mempunyai interchange dengan stasiun BTS. Saya mengintil di belakang cowok itu dan berpisah di loket pembelian tiket. Supaya praktis saya langsung membeli tiket di loket saja dari pada di mesin yang mesti pencet-pencet. Jadi tinggal menyebutkan stasiun BTS yang dituju petugas memberikan tiket berupa kartu plastik yang tinggal di tap dan ketika tiba di stasiun tujuan dimasukkan lagi ke mesin untuk membuka pintu keluar.
Kereta layang di Bangkok mirip dengan yang di Singapore. Dari jendela kereta saya bisa melihat pemandangan kota Bangkok dengan gedung-gedung serta lalu lintas yang padat. Mirip dengan suasana kota Jakarta. 





Akhirnya saya sampai di stasiun Siam. Saya turun dan segera memasuki mall yang letaknya bersebelahan dengan stasiun BTS tersebut. Dinginnya udara AC segera menyambut. Karena sudah lapar saya segera mencari tempat makan dan yang paling cepat dan praktis apalagi kalo bukan KFC. 



Saya memesan menu standard nasi dan ayam serta ada menu yang lain yaitu  pie susu sebagai dessert.  Setelah kenyang saya melanjutkan berkeliling mall yang saya lupa namanya… pokoknya di sebelah Siam Square.  Mallnya cukup besar dan saya lihat ada Hello Kitty shop di mall itu ketika saya membaca directorynya, tetapi karena saya bingung tokonya nggak ketemu. Ya sudahlah.  Saya juga mencari Nestle Thai Tea di Supermarket yang ada di mall itu tetapi tidak ada yang merk Nestle. Adanya merk lain yang lebih mahal. 

Akhirnya, karena sudah berada di tengah kota saya memutuskan untuk sekalian berbelanja oleh-oleh di Pratunam dan membeli Nestle Thai tea favorit. Saya menuju ke bagian informasi dan menanyakan transportasi menuju ke Pratunam Market.  Menurut si mbak yang langsing dan cantik itu Pratunam bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Wah, bagus deh kalo gitu. Si mbak menggambar peta menuju kesana di selembar kertas sehingga lebih mudah dimengerti. Baik banget nih mbaknya. 

Setelah berjalan kaki kira-kira 1 kilometer sampailah saya di Pratunam. Berbagai macam barang khas Thailand banyak terdapat disana, mulai dari kaos, gantungan kunci, tempelan kulkas, celana, dan masih banyak lagi.  Yang saya suka adalah kaos dengan bahan halus berwarna putih dengan gambar khas Thailand. Tapi biarpun suka saya menahan diri untuk nggak beli. Hehe..
Saya membeli kaos untuk oleh-oleh di sebuah toko yang agak masuk ke dalam karena lebih murah dari pada kios yang terletak di depan. Saya bertanya kepada ibu yang jual dimana bisa membeli Thai tea sachet dan dijawab kalau Thai Tea itu dijual di Supermarket Big C seberang Pratunam.  Akhirnya ada juga titik terang untuk mendapatkan Thai Tea favorit. 
Di tengah cuaca yang sangat panas saya menyeberang kembali ke Mall Big C dimana terdapat Supermarket Big C  yang cukup besar.  Dan akhirnya saya temukan juga Nestea Thai Tea dan langsung saya beli 3 bungkus.
Lumayan masuk di mall bisa ngadem sebentar dan setelah agak segeran saya memutuskan untuk pulang hostel untuk beristirahat sejenak dan meletakkan barang-barang belanjaan yang cukup berat.  





Saya memutuskan pulang menggunakan kapal kecil yang menghubungkan area Pratunam dengan area Khaosan Road.  Info mengenai kapal ini memang sudah saya temukan di sebuah website dan sudah saya catat juga. Tetapi saya lupa karena memang tidak membuat itinerary alias let it flow, mengikuti apa yang terjadi pada hari itu. 

Sungai kecil yang menjadi trasportasi di dalam kota  ini bernama Saen Saep, merupakan kanal yang dibangun sejak jaman pemerintahan Raja Rama III, sewaktu ada konflik antara Siam dengan Annam mengenai Kambodia. Sungai kecil ini digunakan sebagai sarana transportasi bagi tentara yang saat itu sedang berperang. Kanal ini dibangun tahun 1837 dan selesai 3 tahun kemudian. 
Kapal yang beroperasi di sungai kecil sepanjang 18km ini berjumlah sekitar 100 buah dengan 40 sampai 50 tempat duduk. Tempat duduknya sendiri berupa tempat duduk kayu yang berjajar.  Jam operasinya adalah 5.30 pagi  – 8.30 malam  saat hari kerja dan jam 7 malam saat weekend. Harga karcis antara 8-20 baht yang dibeli sebelum naik ke kapal. 

Naik kapal ini seru banget. Karena kapal kecil dan rendah maka ada penutup dari plastik berwarna oranye yang dinaikkan oleh petugas untuk melindungi penumpang dari  cipratan air sungai.  Tapi jadinya pandangan kita terbatas untuk melihat pemandangan sekeliling kapal.
Kapal ini juga berhenti di beberapa dermaga dan dalam waktu singkat kapal telah sampai di dermaga Panfa Leelard yang menjadi tujuan akhir kapal ini. 
Setelah naik ke jalan raya saya berjalan sambil mengira-ngira saja jalan ini tembus kemana dan akhirnya saya mengenali jalan raya tersebut sebagai jalan raya yang tembus ke Democracy Monument.

Oh, tembusnya disini toh, kata saya dalam hati. Rasanya lega dan senang karena tinggal jalan kaki sedikit saja saya sampai ke hostel. Walaupun tetap dalam cuaca panas terik.  
Dalam perjalanan  menuju hostel saya melewati bangunan dengan arsitektur khas istana di Thailand.  Bangunan tersebut adalah Royal Pavilion Mahajetsadabadin, yang merupakan pavilion bangunan untuk Raja ketika meninggalkan istana untuk menemui para tamunya.  Bangunan ini dibangun pada tahun 1989. 


Saya juga foto di depan bangunan yang ada di sebelah Royal Pavilion ini yang ternyata merupakan bangunan Jee Tek Lee Bureau of Monk yang merupakan kantor untuk para biarawan.
Karena cuaca yang super duper panas saya tidak terlalu lama foto-foto di sana dan segera melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan saya sempat duduk beristirahat di bangku yang berada di  trotoar sambil minum dan menikmati pemandangan sekitar. Tidak banyak orang yang berkeliaran di jalan pada jam 3 sore dengan panas yang masih membara. 

Saya segera melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai juga di hostel dan setelah naik ke lantai 3 taraaa… di kamar juga panas karena acnya mati dan diganti dengan kipas angin besar. Jendela kamar juga dibuka lebar. Tetapi udara panas tetap terasa.  2 orang turis bule cewek yang sedang ngobrol di sana juga  berkata kalau hari itu memang panas.  
*Saya memang tidak memperhatikan soal kebijakan mematikan ac dari pagi sampai sore dan diganti kipas angin karena saya beranggapan tidak akan kembali ke hostel sebelum malam tiba. Jadi ya terpaksalah saya menerima hal tersebut dengan lapang dada, toh cuma sebentar dan hanya sehari ini. Kesempatan kembali ke hostel juga saya manfaatkan untuk update berita-berita di sosmed dengan wifi hostel. Untunglah wifi di sini kencang dan lancar jadi semua web dan whatsapp bisa terbuka dengan cepat.
Setelah puas update berita dan foto, saya memutuskan untuk jalan lagi. Saya ingin melihat senja di tepi sungai Chao Phraya dengan duduk-duduk di dermaga Phra Atit yang berada di depan Wat Arun.  Sekalian beli ketan mangga disana.
Setelah update lokasi di Google Map dan save secara offline di HP, saya tinggal mengikuti jalan saja untuk menuju ke dermaga Phra Atit.  Saya berjalan melewati keramaian Khao San Road mengikuti peta yang tertera di google map. Tapi tetap saja saya nyasar dan akhirnya bertanya kepada orang yang saya temui di jalan. Saya memutuskan untuk mampir di salah satu tempat massage yang  banyak terdapat di sepanjang jalan di area Khao San Road.  Tempat massage yang saya pilih ini menawarkan harga yang lebih murah dibandingkan yang lain. Mungkin karena lokasinya yang agak jauh dari keramaian Khao San. 
Saya memilh paket 1 jam massage saja, seharga 100 Bath, tapi karena saya pelanggan pertama yang dipijat saya mendapat extra 10 menit. Ih lumayan banget.  Pijatan si ibu cukup enak, pegal-pegal di kaki saya menjadi berkurang.  Pengen banget bisa ngobrol tapi sayang si ibu nggak bisa bahasa Inggris. Jadi hanya ngobrol seadanya aja deh.
Selesai pijat saya bergegas meneruskan perjalanan menuju dermaga Phra Atit  dan menunggu kapal yang membawa saya ke dermga yang terletak di seberang Wat Arun. Rencananya ingin melihat Wat Arun di waktu malam.  Suasana sekitar sungai Chao Phraya sewaktu senja sangat indah.
Pemandangan menjelang senja di sepanjang Chao Phraya River membuat saya betah berlama-lama duduk di tepian sungai. Lampu-lampu di kapal mulai dinyalakan sehingga menambah syahdu suasana sore itu. 






Saya duduk agak lama di dermaga Tha Tien, menunggu lampu di Wat Arun menyala. Tetapi apa daya ternyata lampu disana belum menyala juga. Mungkin karena sedang dalam tahap renovasi. Karena takut kemalaman, akhirnya saya naik kapal berikut untuk kembali ke dermaga Phra Atit. 
Sambil menunggu lampu Wat Arun menyala saya mampir di pasar membeli ketan mangga dan penjualnya yang menanyakan saya berasal dari mana tampaknya senang tau saya berasal dari Indonesia. 


Ketika saya menginjakkan kaki di dermaga Phra Atit, pemandangan jembatan Rama VIII langsung tampak di depan mata. Jembatan tersebut tampak gagah di tengah gelapnya malam.
Saya mampir untuk melihat-lihat suasana taman yang ada  di sana. Tampak masih banyak orang melakukan kegiatan. Ada seorang ibu yang sedang senam sendirian. Di bagian lain juga tampak beberapa orang yang sepertinya habis olahraga. Ada juga beberapa orang yang baru pulang kantor. 

Di taman  yang bernama :  Santi Chai Prakan Public Park terdapat bangunan benteng yang bernama   Pom Phra Sumen. Benteng terebut tampak bersinar di tengah gelapnya malam karena lampu yang dipasang disana cukup banyak. Tapi saya hanya mem foto bangunan tersebut dari jauh saja.  Di dekat benteng tersebut juga ada bangunan berbentuk rumah yang cukup mewah dengan ornamen dan ukiran yang cantik. 



Setelah puas menikmati taman, saya berjalan kaki pulang ke hostel. Saya membeli makan malam di dekat area Khao San yang ramai, di tempat makan yang sama seperti malam sebelumnya, karena sudah familiar dan letaknya juga tidak terlalu jauh dari hostel.

Beruntung sekali ketika saya sampai di hostel hujan turun dengan lebatnya. AC sudah nyala kembali dan saya bisa tidur nyenyak setelah menyiapkan baju untuk lari besok. Iya, besok saya akan berlari di Lumpini Park.