Thursday 29 May 2014

Nice Escape To Pulau Lae-Lae, Makassar





Jika kita melihat ke lautan lepas dari Pantai Losari, terdapat sebuah pulau yang terlihat cukup dekat dari pantai.  Tampak sekumpulan rumah-rumah penduduk penghuni pulau. Pulau tersebut bernama Lae-Lae dan menurut Wikipedia merupakan pulau peninggalan Jepang, dengan luas 6,5 Hektar dan dihuni oleh sekitar 400 KK atau 2000 jiwa.  Dari Makassar pulau ini hanya berjarak 1,5 Km. Konon,  jaman dulu ada terowongan yang menghubungkan pulau ini dengan benteng Fort Rotterdam tetapi sekarang sudah tidak ada lagi.  

Walaupun telah berkali-kali mengunjungi Makassar tidak ada keluarga atau teman dari Makassar yang mengajak saya kesana.  Pulau terdekat yang sering dikunjungi adalah Pulau Khayangan,  karena disana tidak ada penduduk dan hanya ada tempat penginapan saja.  Di pulau Lae-Lae ini memang tidak ada penginapannya. Dan mungkin asumsi orang adalah pantainya menjadi kotor karena ada penduduk yang tinggal disana.
Karena penasaran saya akhirnya browsing mengenai pulau Lae-Lae  dan menemukan beberapa tulisan kalau pulau ini layak dikunjungi.  Sip-lah berarti bisa dimasukkan ke dalam jadwal jika ada waktu luang sewaktu saya berkunjung lagi kesana. Kebetulan ada acara pernikahan adik ipar dan karena ada hari kejepit saya memanfaatkannya supaya bisa lebih lama disana. 








Karena cuaca kota Makassar yang panas, saya memutuskan untuk ke pulau Lae-Lae ketika waktu menunjukkan pukul 3 siang.  Hari itu cuaca Makassar tiba-tiba mendung setelah tengah hari. Dari rumah mertua saya di Makassar pantai bisa ditempuh dengan sekali naik pete-pete (angkot) dengan membayar Rp. 4000,- dan langsung turun tepat di depan dermaga Kayu Bangkoa. Dermaga ini terletak setelah Makassar Golden Hotel, dekat jalan Somba Opu. 




 Setelah menunggu sebentar sampai ada beberapa penumpang perahu yang hendak menuju pulau, saya akhirnya naik ke atas perahu.  Bersama saya ada 2 orang lagi yang berada di dalam perahu, satu ibu-ibu dan satu mbak-mbak.  Di tengah perjalanan cuaca mendadak menjadi agak gelap karena mendung dan turun hujan rintik-rintik. Gelombang agak besar menerpa perahu dengan cukup keras sehingga menjadi bergoyang hebat. Aduh, mudah-mudahan selamat sampai di dermaga pulau Lae-Lae karena saya tidak terlalu mahir berenang. Akhirnya, perahu sampai juga di dermaga dan saya memberikan ongkos sebesar Rp. 10 ribu.
Saya sempat ngobrol dengan ibu-ibu penduduk pulau tersebut dan beliau bercerita jika sudah menetap di pulau Lae-lae sejak lahir. Lahirnya di RS di Makassar, karena tidak ada RS besar disana hanya ada puskesmas. Beliau menawari saya untuk mampir di rumahnya, tetapi karena saya hanya sebentar disana dengan berat hati terpaksa saya tolak. 





Saya langsung menuju ke ujung pulau bagian kanan dimana terletak hamparan pasir pantai berwarna putih dan deretan pohon Tammate. Sepertinya pohon yang tumbuh di pantai hanya saya temukan di sini deh, karena biasanya pohon kelapa yang banyak tumbuh di pantai.  Untuk sekedar bermain-main, pantai berpasir putihnya cukup bagus kok.  Cukup bersih. Ada beberapa pondok yang bisa disewa juga sekedar untuk tempat beristirahat sambil makan dan minum.  Karena saya sendirian ke sana, saya meminta tolong kepada anak abg  yang kebetulan lewat untuk membantu memotret saya dan ternyata hasilnya cukup bagus.  Awalnya underestimate sih hasil fotonya standard, ternyata dia  mengambil foto sambil agak jongkok sehingga menghasilkan angle yang berbeda. Hehe..  















Setelah puas bermain-main di pantainya dan karena hujan rintik-rintik mulai turun saya segera meninggalkan pantai dan kembali ke dermaga untuk menunggu kapal berikutnya yang menuju Makassar.  Ketika meninggalkan pantai tampak sekumpulan anak-anak sedang main volley, dan sibuk berpose ketika saya ambil gambarnya. Ih asyiknya,  seandainya bisa agak lama disana...
Tuntaslah rasa penasaran saya akan pulau ini yang ketika dalam perjalanan pulang saya perhatikan, waktu tempuhnya hanya sekitar 5 menit saja. 


Tuesday 13 May 2014

Memacu Adrenalin Dengan Paralayang








Saya sudah lupa kapan tepatnya awal mula saya ingin merasakan terbang dengan Paralayang.  Mungkin setelah melihat salah satu acara di TV atau membaca artikel di majalah. Dan sepertinya ada teman dari jaman Multiply masih eksis yang senang dengan olahraga paralayang dan menawarkan untuk mencoba tandem paralayang di puncak. Jadi tinggal duduk manis dan tandem tersebut yang bertanggung jawab menerbangkan paralayang. Tapi karena kesibukan masing-masing ditambah jika  weekend puncak selalu macet sehingga keinginan tersebut tidak pernah terealisasi.  

Sebenarnya EO yang arrange untuk terbang paralayang juga sudah banyak. Tetapi teman yang bisa diajak paralayang itu yang susah.  Kebanyakan semua takut ketinggian dan takut jika terjadi apa-apa. Kalau soal itu memang tidak bisa dipaksakan sih, karena kembali ke masing-masing orang. Kebetulan saja saya memang orang yang senang merasakan petualangan dan kegiatan di alam bebas. Seperti camping, rafting, snorkling, serta yang akhir-akhir ini saya lakukan secara rutin adalah olahraga lari serta mencoba trail running (lari di perbukitan) yang lebih menantang.  

Ajakan dari teman di grup jalan-jalan akhirnya kesampaian juga keinginan saya untuk menikmati paralayang.  Trip terbang tandem paralayang ini diarrange oleh EO Stalagmite Adventure ( no contact : 081383086486) dengan membayar biaya trip sebesar Rp. 445 ribu rupiah.  Biaya yang dikeluarkan tersebut sudah termasuk terbang paralayang dengan tandem, makan siang, air mineral dan transportasi pp serta tanda masuk ke lokasi bukit paralayang di puncak.  Makan pagi dan makan malam di tanggung oleh masing-masing peserta. 

Olahraga paralayang di Indonesia berada di bawah Pordirga Layang Gantung Indonesia (PLGI) yang berada dibawah naungan PB FASI (Federasi Aerosport Indonesia). Dan diresmikan pertama kali di kawasan puncak pada sekitar tahun 1990an. Alat yang digunakan untuk terbang paralayang ini adalah parasut (pastinya), harness, parasut cadangan dan helm. Alat pelengkap lainnya adalah variometer, handy talky (HT), GPS, windmeter, dan peta lokasi terbang.  Semua peralatan tersebut dimasukkan kedalam ransel dan total beratnya sekitar 10-15 kg, jadi cukup ringan. Seperti yang saya rasakan juga sewaktu menggendong ransel ini. Memang tidak terlalu berat. Ransel yang saya bawa ini berisi parasut cadangan, sehingga jika ada keadaan darurat parasut itulah yang akan dipakai.

Akhirnya, hari yang ditunggu tiba, hari sabtu pagi, jam 6 kurang 15 menit, saya sudah sampai di pelataran depan Dunkin Donut Plaza Semanggi. Beruntung tempat pertemuan untuk keberangkatan dekat dengan rumah saya sehingga bisa cepat sampai. Setelah semua peserta berkumpul karena disertai ancaman jika telat akan ditinggal, dua mobil elf yang membawa semua peserta total 18 orang bergerak meninggalkan jalan di samping plaza Semanggi sekitar jam 6.05 pagi. Hampir seluruh peserta adalah perempuan dan hanya 1 orang peserta laki-laki. Sepertinya, lebih banyak perempuan yang berjiwa petualang nih. hehe..

Saya meneruskan tidur yang tertunda dan baru bangun ketika mobil sudah berada di kawasan puncak. Sepertinya tadi sempat macet ketika keluar tol menuju gadog tetapi setelah itu cukup lancar dan kita berhenti di tempat makan di area sekitar botol kecap. Mobil berhenti dan kami semua keluar untuk beristirahat dan sarapan. Kesempatan untuk saya dan teman-teman satu rombongan untuk berkenalan sambil makan indomie rebus dengan telur dan cabai rawit. Indomie ternikmat karena ditambah pemandangan kebun teh dan pegunungan sejauh mata memandang. 

Setelah semua selesai makan, perjalanan diteruskan menuju Bukit Naringgul atau lebih dikenal dengan puncak paralayang. Ternyata lokasinya satu kelokan setelah mesjid At’awun dan terletak di sebelah kanan jalan. Melalui jalan kecil sekitar 500 meter dan sampailah kami di parkiran. Setelah mendaki anak tangga sekitar 200 meter akhirnya kami sampai di pelataran luas tempat awal kami akan melakukan kegiatan paralayang.  Di sebelah kiri tangga terdapat warung yang menjajakan aneka makanan dan minuman. Jadi jika dari Jakarta tidak sempat sarapan bisa sarapan di sini saja.








 
Di pelataran luas di atas puncak paralayang tersebut terdapat shelter tempat pendaftaran peserta yang ingin tandem paralayang. Dan ternyata cukup banyak juga yang berminat. Kebanyakan peminat adalah orang-orang arab yang sepertinya cukup mendominasi selain pendatang lain yang hanya melihat-lihat pemandangan. Pemandangan dari puncak bukit Paralayang memang sangat indah, sejauh mata memandang hanya hijaunya kawasan puncak serta deretan pegunungan dan disebelah kanan tampak mesjid Ata'awun yang megah.

Tak berapa lama setelah semua peserta berkumpul dan puas foto-foto,  kami semua mengikuti briefing yang diberikan oleh mas Gendon Subandono, salah satu senior dan perintis olahraga paralayang dan merupakan salah satu tandem kami nanti. Beliau menjelaskan mengenai prosedur yang harus diikuti oleh para peserta tandem paralayang siang itu dan info-info mengenai paralayang itu sendiri. 

 
briefing bersama mas Get

Paralayang bisa diikuti oleh siapa saja dengan range usia antara 14 s/d 60 tahun dan dengan syarat khusus : sehat jasmani dan rohani, tidak mengidap penyakit jantung, dan epilepsi. Peserta paralayang yang berumur kurang dari 18 tahun harus mendapat restu dan ijin dari orangtua/wali.  

Untuk mengangkat parasut supaya dapat terbang sangat dibutuhkan angin yang berhembus. Ada 2 macam angin yang dapat digunakan yaitu angin naik yang menabrak lereng (dynamic lift) dan angin naik yang disebabkan karena thermal (thermal lift). Jika angin dirasa masih kurang kuat maka paralayang tidak dapat dilakukan.
Oiya, sebelum melakukan kegiatan, kami harus mengisi formulir pernyataan bahwa segala akibat yang terjadi akan menjadi tanggung jawab peserta.  Dan untuk peserta dibawah 18 tahun diperlukan tanda tangan dari orang tua / wali. 

Sambil menunggu angin bagus, saya dan teman-teman duduk-duduk saja sambil menikmati pemandangan. Saya yang takut kepanasan duduk di dekat bagian pendaftaran bersama opa David dan mas Gendon yang sibuk menerima pendaftaran dan kak Ondo Sirait yang juga ikutan ngobrol. Nyesel juga sih nggak bawa bacaan,  mana BB dan HP batterainya sudah hampir habis dan power bank sudah habis. Terpaksa akhirnya saya ke salah satu warung bernama warung Paralayang dan ternyata mas Gendon dan opa David sudah berada di sana.  Karena listrik mati, akhirnya opa David yang baik hati meminjamkan powerbanknya yang besar kepada saya. Terima kasih banyak, ya, Opa. Opa David juga termasuk yang paling senior di olahraga paralayang ini. 

Jadi sambil menunggu HP saya di charge, saya ikutan saja duduk disana,  sambil mendengarkan obrolan para senior paralayang tersebut. Karena sebentar lagi tanggal 23-25 Mei akan ada kejuaraan paralayang sepertinya mereka banyak membahas mengenai ketentuan juri, peserta lomba dan lain-lain. Ternyata Indonesia termasuk disegani dalam hal ketepatan terbang diantara negara-negara lain peserta kejuaraan paralayang. 
Setelah makan siang dengan lauk ayam goreng, tumis sayur dan tempe goreng tepung yang nikmat, akhirnya saya mendengar jika kondisi angin sudah cukup bagus untuk memulai kegiatan paralayang. Asyiik.




 
parasut mulai mengudara


 
larii.. larii..

 
akhirnya...


Akhirnya dimulailah kesibukan untuk persiapan kegiatan paralayang, dari menata parasut dan persiapan untuk penerjun yang akan ditandem sesuai giliran yang telah ditentukan. Dari kelompok saya sudah dipilih 3 orang yang akan duluan berparalayang-ria. Untuk kelompok saya dengan peserta total sekitar 18 orang akan ditandem oleh 3 orang secara bergiliran. Tetapi tidak bisa berturut-turut karena harus menunggu ke 3 orang tandem tersebut naik lagi ke atas bukit paralayang dari lokasi pendaratan di bawah dengan menggunakan angkot.

Saya mendapat giliran ke 4, jadi selama menunggu mas Get (panggilannya mas Gendon) naik ke atas, perasaan saya campur aduk, antara excited dan deg-degan bercampur sakit perut. Sambil menunggu, saya memperhatikan langkah-langkah yang harus dilalui ketika akan memulai take off paralayang. Peserta hanya diharuskan berlari sampai ke bibir bukit sedangkan tandem yang menyiapkan parasut sampai terkembang dengan posisi membelakangi peserta. Ketika parasut sudah mengembang, tandem akan berbalik arah dan berlari bersama peserta untuk akhirnya melayang bebas. 


Ketika giliran saya terbang, saya sudah pasrah. Mas Get tidak memberikan instruksi apa-apa jadi saya hanya menunggu sampai ada info selanjutnya dari mas Get dan dalam hitungan detik, beliau menyambungkan harnes ke ransel, lalu saya ditarik untuk lari dan wuuus.. tiba-tiba saya sudah terbang di atas kebun teh dan sejauh mata memandang adalah kebun teh di pegunungan puncak yang berselimutkan kabut tipis. Saya segera merekam pemandangan tersebut dengan bb yang dari tadi saya pegang sekaligus berselfie ria. Kapan lagi bisa foto selfie dari ketinggian 1350 meter di atas permukaan laut, melayang-layang di bawa angin dengan bebas. Sensasi melayang-layang di udara tersebut benar-benar amazing. 

Sayang sekali, siang itu angin sepertinya tidak terlalu bagus sehingga parasut tidak bisa melayang terlalu jauh, sehingga hanya dalam sekitar 5 menitan, setelah berputar di atas tempat pemancingan, berbelok dan akhirnya mendarat dengan mulus di lapangan di tengah kebun teh. Para adik-adik yang membantu membereskan parasut sudah sigap melipat parasut untuk dibawa kembali ke atas. Ah, rasanya masih kurang lama, masih kurang puas menikmati pemandangan puncak dari atas...Kapan ya, bisa balik lagi.

 
I'm flying...

 
Di tempat landing


Yang jelas, kalau misalnya ingin ber paralayang lagi,  sekarang saya sudah tau lokasinya dan bisa langsung datang, setelah menghubungi mas Get di 0818146705 untuk janjian lebih dulu. Biaya untuk tandem paralayang bervariasi sekitar Rp. 350 ribu dan bisa lebih murah jika kelompok sampai 5 orang. 

Jika berminat untuk belajar paralayang sendiri bisa ikut pelatihan dengan biaya sekitar Rp. 7 juta dengan lama pelatihan berkisar 40 jam. Waktunya fleksibel bisa dilambil hari apa saja tergantung peserta. Semua info bisa ditanyakan langsung ke mas Get saja, secara dia pelopor juga dari klub paralayang bernama Merapi (Klub Mega Raya Paralayang Indonesia) yang sudah berdiri sejak tahun 1990. Untuk lebih jelasnya bisa mengunjungi blog mas Gendon Subandono
 
Setelah landing, saya tidak langsung menuju bukit Paralayang dan masih menunggu teman-teman lain yang mendapat giliran berikutnya. Waktunya tidak bisa diprediksi, karena tiba-tiba angin tidak ada sehingga jarak antara penerjun satu dengan yang lain bisa agak lama. Memang kesabaran harus diuji jika ingin berparalayang ria. Sabar menunggu angin dan cuaca yang bagus. Dan harus siap-siap kecewa jika batal terbang karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan. 

Puas foto-foto, saya dan dua teman lain kembali ke lokasi awal dengan menggunakan angkot dan ketika sampai di atas, wah, ternyata di lokasi sudah lebih ramai dari pada tadi siang. Walaupun cuaca malah agak kurang baik karena berkabut tebal. Hampir saja salah satu teman dari kelompok kami tidak bisa terbang, walaupun akhirnya bisa diusahakan dan waktunya menjadi sangat singkat.  

Sekitar jam 17.30 kami semua kembali ke mobil untuk pulang ke Jakarta sekalian menjemput beberapa teman yang masih berada di lokasi landing. Singgah untuk makan malam di Cimory resto dan akhirnya sampai kembali di titik keberangkatan awal di Plaza Semanggi jam 21.00 dengan selamat. 

Ah, senangnya ahirnya bisa merasakan paralayang, pengalaman yang tidak terlupakan. Pastinya sih, ingin mencoba lagi di tempat lain.